BAHASAHATI.COM, MEDAN – “Menulis adalah terapi jiwa” ungkap Bergman Siahaan, seorang penulis, alumnus USU dan Victoria Universitiy of Wellington New Zealan ketika ditanya oleh Hasan Al Banna sebagai moderator pada Ahad, 12 Rabiulawal 1446 H / 15 September 2024 M bertempat Kede Buku Obelia Jl. Amaliun No. 152, Medan.
Beliau asli dari Balige. Rajin menulis, terbit di komasiana, salah satunya adalah artikel. Berkuliah di USU sampai ke Selandia Baru. Teman-teman, saya percaya bahwa kemampuan manusia selain membaca dan menulis sebagai pelengkap anugrah Tuhan yang patut kita syukuri.
Di Selandia Baru, apa yang abang temukan perbedaannya dengan Indonesia? Saya, kalau ada yang terlambat, saya bilang besok jadilah orang Indonesia, karena orang Indonesia tidak terlambat.
Konteksnya bisa luas, tapi saya kerucutkan ke Literasi. Kebiasaan dan dibiasakan membaca. Saya suka memerhatikan Pendidikan walau bukan dibidang itu. Disana, siswa SD dibiasakan membaca, menyimak dan menceritakan buku (Per dua hari setelah mereka membaca bukunya). Jenjang SMP-SMA kebiasaan ini terus dilakukan (dalam) Pendidikan. Sampai saya Magister, saya ambil Kebijakan Public, tugasnya ya menulis saja. 1 bulan bisa 2-3 (tulisan) dalam satu mata kuliah.
Apakah S1 tidak menulis?
Waktu dulu tidak ya, 2004.
(Waktu S2) Tulisannya Essai, harus baca jurnal dan buku. Ini membuat teman saya kelelahan karena itu. Yang menarik lagi, kalau orang disana (misal) di station, baca buku. Ini sepertinya masalah habbit (untuk diterapkan di Indonesia).
Kita diberikan ilmu berhitung baru belajar jujur. Setelah mereka (anak-anak Bergman) pindah ke Indonesia, adakah adaptasi atau punya kesulitan?
Lebih (kepada) kesulitan, saat kesana mereka culture shock (budaya yang berbeda), lalu saat kembali juga kena culture shock. Anak saya yang 3 sd, paling pintar di sana. Disana kelas 1 hanya main main seperti TK.
Namun, anak-anak disana diajarkan ilmu sesuai umurnya. Anak-anak dari Goggle, menyerahkan anak mereka ke sekolah yang tidak berteknologi. Bagi mereka nanti di umur 15 tahun mereka akan bisa sendiri.
Terlepas dari karena tuntutan S2, saya mundur sekarang, apakah abang punya latar belakang riwayat literasi?
Generasi 80-an penggila buku, tidak ada hiburan lain. saya terbiasa baca, misal bobo, tintin. Bahkan yang sampai smp, orang tua kami tidak suka kami baca komik. Kami mencicil uang sama kakak, untuk minta dibelikan. Akhirnya orang tua yang belikan. Saya dari kecul juga meniru tulisan yang sudah ada. Salah satunya saya menulis dengan bahasa Jakarta. Saya suka ke Gramedia untuk menghirup aroma buku.
Inilah yang saya banggakan dari generasi saya.
Saya teringat cerita SD, saya pernah menulis tapi sudah hilang semua. Saya pernah tulis cerita fiksi. Sialnya tulisan ini ketahuan dan akhirnya di bully, karena ada tokoh lain (Perempuan dari kelas lain). Kalau saya dengar dan saya suka lalu buat lagu sendiri. Saya kuliah paling males ngerjain skripsi, malas menulis, sampai saya taubat setelah masuk ASN. Saya selalu bilang kalau menulis sebagai terapi jiwa, sampai saya menulis di blog lalu ke kompasiana. Dan ini yang membuat saya mau melanjut S2. Saya tamat S1 di 2004 dan S2 di 2019. Skill menulis itu sangat bermanfaat. Ketika menulis ilmiah itu sangat berbeda dengan fiksi ya. Banyak teman-teman, (salah duanya) saya dan Eka, mencoba membangkitkan semangat menulis di suatu sekolah.
Bukan tidak ada sejenis bang Bergman kita temui. Jadi ketika (pernah dalam fase) dia malas, tapi alam dasar dahulu menjadikan dia tobat. Seperti saya sewaktu kecil, dipaksa ngaji, saat besar kalau bandal lebih cepat balik (tobat). Jadi pengalaman di waktu dulu sangat berpengaruh.
Abang tadi mengatakan “terapi jiwa”, dalam menulis status, orang-orang yang sedang memfoto sedang berada dimana dan hanya mengatakan “sedang disini nih”.
Ketika abang mengatakannya sebagai terapi jiwa, apakah bang Bergman punya kegiatan menulis diary, kalaupun ada, kemudian riwayat baca dan memindahkan ke anak-anak di rumah?
Agak sulit-sulit susah. Standar sebenarnya, awalnya kasih guru. Kalau bang simon dari Spirit Book (perpustakaan) menonton, saya senang ajak ke sana. Namun, anak-anak bacaannya sempit. Di selandia Baru juga mahal buku. Saya 3 tahun disana tidak beli buku baru, selalu beli bekas. Murah dan masih bagus. Jadi kami seperti hunter buku. Ketika mau pulang, bigung, dua koper saya isi buku, dan baju saya buang. Sampai disini saya berharap ada took buku murah.
Saya lumayan berhasil menguji anak. Saya tawarkan kea nak, boleh main hp 2 jam dengan baca novel 3 bab. Dia main game 2 jam dan bisa telah menyelesaikan beberapa novel. Ia sempat berpikir, akhirnya ia menyerah juga. Di rumah pun kami menghindari main hp. Buka WA di kamar mandi. Agar anak sendiri tidak berujar protes.
Kira-kira, ketika abang menulis, saya pikir bacaan abang seimbang antara fiksi dan non fiksi. Aku ingin bertanya, ngapain lagi cetak buku, kalau sudah ada digital, seberapa benar kita harus meninggalkan buku cetak?
Saya pribadi, karena cara kita melihat berbeda dengan Gen-Z. Pada akhirnya, kita lebih nyaman melihat versi cetak. Sebenarnya 98 persen disana (perpustakaan) sudah digital. Kalau di Pendidikan, memang sulit. Kalau kesehatan mungkin tidak.
Jangan salah, di inggris masih cetak buku. Kawan saya bilang kalau ini bukan primer, untuk memudahkan penelitian oleh Pendidikan.
Bang, kira-kira, setelah abang diberikan jalan untuk melihat dunia luar, dan abang mau buat sekolah agar bisa masuk kepada sistem bacaan yang tidak normatif. Apa cita-cita kecil abang, terkait dunia menulis dan membaca?
Saya belakangan ini lebih berkecimpung kedunia Pendidikan. Setelah saya melihat dunia luar saya ingin berbagi itu tentang literasi. Target saya, kedepannya untuk mau merangsang literasi. Saya bisa ambil beasiswa itu karena menulis essai. Dan saya lihat anak-anak disana dari kecil sudah lancar berbicara (bercerita).
Penutup: Menurut saya dunia literasi di dunia ASN itu penting sekali. Membaca peraturan dan menulis hari ini. Kalau saya penentu kebijakan, saya akan wajibkan ada tiga golongan di setiap lembaga, yaitu keahlian IT, keahlian hukum dan keahlian sastra.
Sebenarnya, ASN banyak menulis, berkumpul di suatu grub bernama Birokrat Penulis.