Saya membaca buku ini dengan urutan yang direkomendasikan pada sampul buku: dari Al-Ghazali, Pangkubuwana, Lawrence Kohlberg, dan Hans Jonas. Dari Islam, Jawa, dan Barat. Ternyata, pengalaman membaca dengan urutan ini malah sangat membantu saya. Kenapa? Saya jelaskan.
Pengalaman membaca yang saya dapat darinya cukup membuat tenteram dan layak untuk dipertimbangkan. Bisa jadi karena saya Muslim, kumpulan teori yang disampaikan berawal dari al-Ghazali lewat pembuktiannya terhadap rasionalitas lalu mendekapnya dalam religiusitas. Menurut beliau, jika manusia membuat etika, hasilnya kontekstual, karena mereka terbatas dan kontektual. Satu kalimat menarik yang di sampaikan Pak Faiz dalam bab ini adalah Agama tanpa etika akan kering, Etika tanpa agama akan hambar. Tak kalah menarik dengan ideal manusia adalah Husnul Khuluq (akhlak baik) dicapai dengan mendayagunakan akal, emosi, dan nafsu sesuai dengan kebutuhan.
Selanjutnya, Pangkubuwana menarik jiwa kesejarahan saya lewat Kejawaan yang diturunkan oleh keturunan. Oleh sebab keluarga Ibu saya yang tidak secara aktif mempraktekan filosofi Jawa, maka membaca pikiran Pangkubuwana mendekap saya untuk menjadi manusia bermoral lewat syair-syair, saya cukup tertarik untuk menghapalnya agar mempermudah praktik nantinya. Di antara syair tersebut disampaikan melalui karyanya, Serat Wulangreh. Wulang itu ajaran, sedangkan reh itu perintah atau tujuan. Isinya tentang ajaran moral yang sebenarnya ditujukan untuk anak-anaknya. Uniknya, Serat Wulangreh semacam versi Jawa dari kitab Ayyuhai Walad (“Wahai Anakku”) karya al-Ghazali. Pak Faiz melampirkan bahasa Jawa dan menerjemahkannya. Membuat saya tertantang untuk melantunkan bahasa Jawa yang lidah saya masih kaku dalam pelafalannya. Ya, hitung-hitung mengembalikan ingatan orang-orang pendahulu saya.
Menuju ke Barat, Lawrence Kohlberg, lewat psikologi moral yang mempertemukan kajian filsafat dan kajian psikologi. Mengaitkan etika dengan kondisi psikologis dan kejiwaan kita. Asumsi beliau adalah bahwa kondisi jiwa kita memengaruhi perilaku moral kita. Manusia yang bermoral baik adalah manusia yang mampu mencapai puncak hierarki aktualisasi diri. Dan ciri-ciri orang yang sudah mencapai aktualisasi diri tersebut, yaitu: 1) Mandiri, 2) Realistis, 3) Problem solver, 4) Selera humor tinggi, 5) Menghargai proses.
Terakhir Hans Jonas, catatan situasi manusia yang menciptakan sendiri kiamat kehidupannya (Apokaliptik). Manusia, pencipta teknologi, tidak kuasa mengendalikan fungsi dan kebermanfaatannya. Lewat teknologi, yang buatan manusia sekarang mengancam dan memangsa kemanusiaannya sendiri. khususnya Gen Z (Kelahiran 2000-an), kehilangan kemampuan berinteraksi dengan sesama yang dimiliki generasi hari ini terancam karena keasyikan mereka dengan dunianya sendiri.
Manusia yang hilang moral membuat ia membela hidup yang seadanya, melepas pilihan-pilihan yang besar, menyerah untuk memimpin, meninggalkan kedamaian yang sesungguhnya. Hidup tidak lagi terasa nikmat, kopi hanya meninggalkan pahit tanpa pikiran yang terjahit. Mudah-mudahan kita tidak menyerah untuk menjadi manusia baik, dan mau melanjutkan hidup dengan pilihan-pilihan besar dengan tidak mengkerdilkan kemampuan. Mari mulai dari perbaikan moral, teman!
Allah Maha Mengetahui dan sesuai prasangka hamba.