BAHASAHATI.COM, Medan – Narasumber Koko Hendri Lubis (tengah), Juhendri Chaniago (kanan) dimoderatori Eka Dalanta (kiri) membedah buku Roman Medan yang terbit pada tahun 2018 oleh penerbit Grameda Pustaka Utama dalam rangka Hari Buku Nasional di Degil House pada Jumat, 16 Zulkaidah 1445 H bertepatan tanggal 24 Mei 2024 M.
Berikut catatan saya dalam kegiatan ini, semalat membaca!
Pointers dari Koko Hendtri Lubis:
Saya mau berterimakasih kepada Penerbit dan Degil House. Roman Medan, saya tidak menyangka (buku) menjadi sampai seperti ini. Sampai seorang Profesor dari Jerman, menjumpai saya, dan mengatakan kepada saya bahwa patut di contoh. Ini intermeso saja.
Di Singapura banyak waktu itu Roman-Roman terbitan Medan. Dan juga penting, para politikus di Medan ataupun di tempat-tempat lain juga belajar politik itu dari penulis sebenarnya. Soekarno misalnya, itu belajar dari penulis.
Di konteks di Medan, tentu ada A. Xarim, M.S., (ada juga Joesief Sou’yb) dia kan juga seorang politikus, yang juga penulis Roman, tapi dia belajar dari para penulis bagaimana mengungkapkan pemikirannya. Makanya penulis punya andil besar terhadap kemajuan suatu masyarakat. Nah uniknya, pada masa kolonial, terjadi semacam politik bahasa di Indonesia.
Bahasa Belanda tidak menjadi bahasa pergaulan di koloninya. Ini berbeda dengan di Inggris misalnya. Koloni Inggris, itu berbeda.
Kenapa? Di Suriname juga berbeda. Di Suriname terjadi politik asimilasi. Masyarakat empat benua di Suriname diwajibkan berbahasa Belanda.
Tapi di Indonesia tidak. Di India Belanda. Penyebaran bahasa Belanda awalnya ditentang.
Seandainya tak ditentang, mungkin buku-buku bahasa Belanda laris di pasaran. Jadi bahasa Belanda awalnya dipelajari untuk pasar kerja. Kemudian berkembang, pemerintah Belanda melakukan perdekatan yang pluralistik.
Mereka menawarkan pendidikan kepada para elit-elit beribumi. Jika tidak tercapai pendidikan ini, mereka menggunakan bahasa Melayu. Namun pada saat bersamaan, pihak kolonial mendorong penggunaan bahasa etnisnya masing-masing.
Tindakan kolonial ini oleh sebagian pengamat yang disebut politik divide et impera. Maka dari sini pemicu muncul Roman Medan menggunakan bahasa Melayu. Selanjutnya, Roman Medan itu seringkali disebut anti-kolonial.
Karena ada beberapa orang redaktor yang pernah ditangkap polisi. Karena tulisannya di Silat Kabar. Tapi bukan karena Roman.
Balai Pustaka bilang bahwasannya sastra harus netral. Tidak memihak. Maka dari itu Roman Medan dianggap sastralial.
Mutu, isi, dan kualitasnya Balai Pustaka kurang berkenang. Mereka takut terhadap aspek anti-kolonialnya. Lalu, sesudah merdeka, masyarakat yang tinggal di kampung atau di desa ingin datang ke Medan.
Kehidupan di desa yang dibawahnya kan agak konservatif. Ada beberapa Roman setelah Indonesia Merdeka mungkin menuliskan cerita tentang jatuh cinta. Terus ada pertemuan di bar.
Tentang mobil-mobil dituliskan. Itu menarik buat pembaca. Itu mungkin yang menjadikan Roman Medan di koleksi atau dibaca ketika itu.
Pada era lima puluhan berlanjut lagi, pengarang Medan juga membentuk sastra modern dia. Mau ikut. Setelah tercapai penyerahan kedaulatan, tentu Medan melalui pengarang-pengarangnya mau ikut membentuk kebudayaan nasional. (beberapa judul Roman: Tenggelamnya Kapal van der Wijck, dan Dja Oemenek Djadi-djadian.)
Ya dia mau dong, tampil juga begitu. Karena ini akan membentuk suatu pertanyaan nanti. Siapa kami di Medan ini? Sekian dulu.
(Moderator) Eka: Apa saja sih yang masuk ke dalam Roman Medan. 130 Nama penulis yang Bang Koko sebutkan dalam buku Roman Medan. Lalu apa yang menjadi ciri khasnya?
Koko: Roman itu kebudayaan baru setelah dahulunya adalah hikayat. Tak hanya di Medan, ada juga di Tebing Tinggi. Perkembangannya juga diakibatkan oleh berkembangnya Surat Kabar. Kala itu, Yusuf Suep sampai di cetak 10.000-5.000 yang itu adalah biasa. Sekarang, itu hal yang susah.
Eka: Bagaimana tumbuhnya Roman Medan dan apa peran Intelek dari Sumbar?
Juhe: Selamat Sore. Ketika membaca Roman Medan, kita seperti menyimak identitas Medan baik kota dan masyarakatnya. Sebagai produk budaya, banyak persoalan di dalamnya. Tema-tema yang muncul, dalam Roman Medan, adalah sebagai oase untuk orang Medan dan juga Penulis sekarang. Catatan Roman Medan, harusnya menjadi potensi bukan hanya sebagai kenangan. Jadi, Roman Medan, ini adalah refleksi diri secara kultural. Kenapa? Karena kita sedang mengenali kepribadian kita sebagai orang Medan. Cara mengenal diri kita adalah dengan kebudayaan, dan Roman Medan ini adalah bagian darinya. Kalau kita telusuri, di Kota Medan ini dikepung penertbit. Di Tahun 1930 an. Orang bilang Roman Medan menarik karena membicarakan kebudayaan. Dibagian pertama. Sebagai kota yang bercirikhas yang tak hanya seputar kuliner. Roman Medan menjadi saksi zaman. Sayangnya kita tidak bisa menyaksikan secara langsung. Di Index, datanya cukup banyak. Tinggal kita eksekusinya, mau tidak kita mencari. Katakanlah Sarjana Sastra mau tidak untuk meneliti ini. Ini soal Kebudayaan.
Soal Distribusi, banyaknya penerbit, sudah dilakukan dengan sebaik mungkin. Banyak promo ketika membaca 10 Roman Medan. Adanya Masyarakat pembaca, lewat surat pembaca, memberikan kritik kepada penulis. Sampai antri buku-buku yang akan diterbitkan. Adanya ruang kritik, yang keras bahkan sinis, adanya hegemoni Jawa dari Jakarta yang seperti ingin menjatuhkan Roman Medan. Namun, para Roman Medan mau menjawab itu semua.
Saya menunggu Langkah Negara untuk melindungi karya Roman Medan. Aksesnya harusnya tidak terbatas.
Eka: Kenapa Roman Medan mendapat respon yang luarbiasa kala itu?
Koko: Ketika itu, roman medan disukai karena ringan dan tidak dibabtis oleh Balai Pustaka. Matumona membuat tempat-tempat yang menarik, lokasi penting. Kadang-kadang kalau kita baca karena novel Sejarah, hanya menjadi panduan historis, tidak fokus pada tokoh. Ia tidak mungkin membuat tokohnya jatuh cinta di tempat parkir. Iat ahu bagaimana psikologi tokohnya. Publik di Medan, punya pasar tersendiri. Juga ada Komik banyak juga penggemarnya. Hebatnya keduanya jalan berdampingan. Ini sebelum 65. Setelahnya, kita banyak terkendala. Kertas yang langka, banyak preman yang menimbun kertas. Setelah 65, orang-orang saling curiga, siapa musuh siapa kawan.
Eka: Roman Medan ini sangat kaya akan gendre ya. Spionase, horror, religious, tidak hanya
Pertanyaan:
Cristian: Bagaimana dengan dialog saat itu, apakah masih berkembang hingga saat ini? Tulisannya, mengikuti masa itu
(Jawaban) Koko: menuliskan menertibkan pikiran. Pastilah para pengarang Roman menyamakan dengan kondisi atau disesuaikan dialeknya khas Medan. Walaua da juga ada serapan dari luar. Juhe: bukan 100 persen pasti ada, tapi ada. Tugas pengarang merawat bahasa, memunculkan bahasa baru.
Nawir: Perjuangan Roman Medan, dapatkah dipertahankan lewat kebahasaan kita hari ini? Namun, catatan saya, soal kebahasan ini, setelah 65 banyak di warnai oleh premanisme. Apakah dahulu Masyarakat Medan seperti itu? Kira-kira, kehadiran Film Agak Laen, dapat menjadi batu loncatan kita untuk mengambil potensi Roman Medan yang pernah Berjaya? Bagamaimana Langkah Konkritnya untuk penulis sekarang?
(Jawaban) Koko: Pertama, penggunaan Roman Medan ini masih bisa tidak digunakan seperti sekarang? Saya kira tidak. Sudah berbeda zamannya, apa yang mereka perjuangankan sudah tidak bisa sama. Terkait bahasa, juga beda. Roman Medan digunakan sebagai istilah pada Masa Lalu. Bahasa Roman Medan tidak kasar. Yang kasar itu tulisan Redakturnya. Di Romannya tidak ada. Langkah konkrit, saya banyak belajar menulis dari penulis Roman Medan, salah satunya Matumona. Ia tahu sudut tertentu. Misal, ada kampung jaumene kampung mandailing. Bisa saja ini cerita mulut ke mulut. Tapi ia mampu dengan adegan. Saya juga belajar tokoh yang tegang. Karena, tanpa ketegangan Roman Medan tidak diminati.
Hasan: Mungkin dari Bang Koko, apa pandangan abang—Jangan-jangan Buya Hamka kalau tidak ke Medan tidak bisa begitu hebat—ada tidak melihat fenomena ini? Chairil Anwar yang ketemu bahasa Medan, walau darah minang ia memakai kebahasaan Medan?
(Jawaban) Koko: Mereka yang membawa ilmu dari tanah masing-masing ke sini. Penulis ini pasti diskusi, dan menghasilkan Roman Medan. Dan mereka semua kutu buku, ada anjuran untuk terus membaca buku, dan ini tidak ada yang menyangkal. Banyak juga orang Eropa di sini karena Perkebunan. Kalau tidak ada Hamka, pak Yusuf Suep tidak akan berkembang. Semuanya memberi warna untuk penulis.
Juhe: Dari dua penanya, saya mau masuk ke dalam jawaban Yusuf Suep “Lebih baik belajar ke Medan” kepada para pengkritik Jakarta. Medan itu tempat pergulatan pikiran. Medan punya potensi. Medan semacam Magnet untuk orang di Jawa. Premanisme itu sebenarnya hanya kriminal. Ia keras, tapi bicara kemerdekaan prinsip. Kalau boleh dikatakan, orang Jakarta itu semacam cemburu. Hamka dan Yusuf menyangkal bahwa bahasa Medan itu rendahan. Era sekarang, baca saja “Kura-Kura Berjanggut”. Tugas pengarang itu memang untuk membuat bentuk baru. Kalau ada yang masih seperti itu adalah cara mereka merawat. Kita boleh akses untuk mencari tahu cara menulis dan distribusikannya.
Eka: apakah ada lagi ditemukan penulis Roman Medan ini?
Koko: ada. Bertambah 2 orang. 80 persen saya pernah lihat fisiknya. Saya punya 40 buku.
Aldea: Setelah selesai dari pembahasan buku ini, saya menangkap buku ini sebagai rekam jejak. Apakah bisa ditulis kembali Roman Medan ini dengan gaya penulis baru?
(Jawaban) Koko: kenapa tidak? Sejarah saja bisa ditulis kembali. Katakanlah di eropa mau menuliskan ulang Dongeng. Saya kurang tahu, tapi sepertinnya ada hak cipta. Kalau saya oke saja. Kalau di Komik, bagi yang mau menggunakan karakternya harus izin ke kami yang akan diserahkan kepada ahli waris.
Juhe: Menuliskan gaya sendiri, dengan terisprinspirasi, boleh saja. Tapi jangan nodai akar bahasanya. Tidak bijak. Jadi, menulis ulang dan mengadaptasi juga perlu hukum.
Yasir: Ada tidak solusinya, sebagian aku sudah baca walau ejaannya lampau. Bahasanya halus. Agar Roman Medan itu bisa di akses dalam bentuk PDF?
(Jawaban) Koko: tidak semua bisa di akses.
Juhe: Sejarah kita banyak bolongnya, maka dengan Roman Medan itu lah yang membuka, kata Seno.
Bima: Misal yang datang kesini itu-itu saja. Gimana sih anak-anak sekarang yang sudah poluler. Agar dibaca anak-anak sekarang? Rasanya sia-sia kalau sudah jauh-jauh diteliti sampai ke Belanda tapi tidak berdampak sampai ke anak-anak sekarang.
(Jawaban) Juhe: Tidak ada yang sia-sia. Bahwa ada yang kita gelisahkan. Kesia-siaan itu hadir saat pemerintah, lapisan masyarakat sudah Masa Bodoh. Ada beberapa contoh: novel yang difilmkan, mereka tanyakan soal Roman Medan, Film Kapal Van Der Wick, “apakah abang sudah menonton film ini?” namun saat aku tanyakan kembali “apakah kalian sudah baca bukunya?” jawab mereka tidak. Bumi manusia juga. Budaya nonton, sampai politisasi kertas yang langka. Jangan-jangan, ini adalah langkah membungkamkan literasi.
Koko: di Denmark itu banyak dan mudah menemukan Toko Buku. Disekolah juga penting, mohon maaf, sekolah hanya membaca buku teks. Tidak diarahkan untuk membaca buku yang lain. Kalau orang tua berani pinjol 1 juta masa beli buku 100k tidak berani.
Lia: Bagi aku, pengetahuan tidak netral dan bahasa itu politis, jadi Dimana pijakan Roman Medan ini?
(Jawaban) Juhe: bicara disiplin ilmu, itu jenis nya Prosa. Dimasa itu, inilah yang dihantam Jakarta untuk mengatakan bahwa Roman Medan bukanlah Sastra.
Rose: Saya lebih menginginkan disebutkan sebagai Roman Picisan, tidak dengan Roman Medan.
Demikian catatan ini dibuat dalam rangka memperpanjang nafas ilmu dari kegiatan tersebut. Silahkan di saksikan rekaman video live melalui laman Instagram @ngobrol.buku
Terimakasih kepada Degil House atas foto-foto di atas.