Cakap Asyik Edisi 11: Yang Remeh Belum Tentu Tak Puisi | Christian

Avatar photo
Reading Time: 4 minutes

Christian (kiri) dan Hasan Al Banna (Kanan)

16-07-1445 H / 28-01-2024 M

Moderator: Hasan Al Banna

Narasumber: Christian

Tempat: Kede Buku Obelia


Christian, lahir di masa-masa Soeharto diturunkan. Beliau menulis buku puisi “dan saya lelah dengan lelucon-lelucon saya sendiri”.
Isunya, masa perjalanan saya menulis sastra, orang batak ini tidak banyak melahirkan penyair, tentu ini masih bisa diperdebatkan. Christian yang berlatar belakang hukum. Mengapa terlibat di dalam puisi, di dalam teks fiksi. Mengapa mau berada di jalan sepi?

Satu titik dimana aku, di gang pamen jalan padang bulan, ada cafe spirit book. Lalu dikenalkan dengan buku sastra. Jadinya, aku malah lebih banyak buku sastra daripada buku hukum. 

Apakah modal membaca sastra ini menjadi ilham mau menulis sastra? Lalu bagaimana persinggungan dengan penulis sastra?

Awalnya aku menulis tentang hukum, seperti artikel, di Analisa tahun 2019. Sembari aku menulis artikel itu, aku sudah menulis di buku catatan waktu kuliah, di note hp. Selama itu saya tidak ada motif untuk menulis puisi dengan mengirimnya ke Analisa.

Dan aku tidak mendapati orang-orang yang mengenalkan sastra. Sekadar ikut kegiatan diskusi. 

Saya dahulu yang tidak suka mengikuti, karena dahulu aku mau karyaku dimuat karena memang bagus bukan karena kedekatan. Berarti, bang Christian ini tidak punya kedan (kawan) sastra di Medan?

Aku sebenarnya tidak ada niat untuk tidak berhubungan. Mungkin aku yang tidak terlalu ngotot. Namun pada akhirnya aku berjumpa dan dekat dengan Bang Juhendri.

Saya jujur belum membaca buku abang, namun saya janji akan membeli buku abang, hehe.

Awalnya aku itu menulis prosa di beberapa website. Dulu aku tidak ada niat khusus untuk menulis puisi, namun fokusku ada pada prosa. Dan aku tidak paham kenapa bisa begini. Padahal aku maunya menulis novel.

Nah, ini bisa jadi ada yang mengatakan “itu urusan penyair dan Tuhan”.

Pertemuanku dengan Bang Juhe punya pengaruh. Lalu aku membongkar catatanku kembali.

Kebutuhan menulis artikel karena kuliah di hukum, saya mau mundur kebelakang masa lalu abang, apakah abang kaget dengan literasi yang abang dibesarkan di Toba Balige? 

Keterkejutannya itu, saat aku mengingat saat SD, SMP, SMA aku mendapati apa dahulu? Ternyata aku sudah baca puisi Chairil Anwar dan beberapa lainnya.

Terlepas dari pelajaran Bahasa Indonesia, apakah abang dahulu memang rakus dengan buku?

Tidak, aku tidak rakus membaca.

Nah, inilah contoh nyata sebenarnya bahwa bukan harus rakus membaca untuk jadi penulis. Dengan latar belakang itu, sejauh ini keasikan apa yang apa dapati saat menulis fiksi?

Mungkin dulu saat menulis di kuliah, aku membandingkannya saat menulis hukum yang kaku. Malahan aku sampai dimarahi karena menggunakan bahasa sastra dengan bahasa hukum. Maka dengan sastra fiksi yang hidup dan tidak membatasi.  Dulu aku yang membaca tulisan Iksaka Banu. Fiksi itu hidup sedang teks jurnal atau buku ajar itu kaku. 

Baca Juga: Catatan Ngobrol Buku: Balada Becak (YB Mangunwijaya)

Aku berangkat dari yang dikatakan oleh bang Christian, kemarin aku mengantar anak ke Padang, ada kata ‘parapek’ yang aku jumpai maknanya di novel dan tidak mendapatkannya di kamus. Apakah kemudian abang mencari rujukan buku yang berbicara dengan hukum? Dan suatu saat abang akan menulis dengan topik hukum?

Nah, ini mungkin dosa ku. Aku belum ada menulis yang tema utamanya terkait dengan hukum. Dan aku tidak ada kesengajaan untuk memenuhi bacaan. dan aku mencari buku-buku bekas untuk mengetahui dari novel-novel. Dan saat aku membaca buku non-fiksi aku mencoba mencari di fiksi apakah ada yang membahasnya.

Apakah abang menganggap bahwa membaca ada kebutuhan yang asyik?

Iya

Oke sah la kalau begitu, kita lanjutkan, apakah kesukaan ini karena diawali non-fiksi? Fiksi? Atau keduanya?

Aku membaca dari ketidak enakan kehidupan di kampus dan membaca fiksi.

Apakah hanya karena datang ke cafe buku dan berjumpa fiksi?

Dulu aku tidak hanya membaca fiksi, rekomendasi bang Simon, malahan menawarkan buku pengembangan diri. Dan bukunya bukan yang terkenal.

Apa respons, kawan-kawan di kampus?

Penerimaannya masih rendah. Kawan-kawan hanya mau menerima tulisan yang berisi fakta. Padahal isi Fiksi adalah fakta dan imajinasi. Mungkin teman-teman belum paham.

Abang Christian, yang murni Batak, apakah abang sengaja dengan lisan abang yang tidak tebal sehingga tidak bisa ditebak sebagai orang Batak?

Sebelum itu, ada yang aku lupakan, soal respons antar mahasiswa hukum. Belakangan temanku S2 hukum dan aku kasih tahu bahwa M. Yamin dulu juga nulis sajak. Singkat cerita, dia seperti menemukan kebuntuan. Rasanya aku senang bisa mempengaruhinya mau membaca sastra.

Cara bicaraku yang seperti ini memang sudah seperti ini adanya. Bahasa batakku sangat mahir sebenarnya. Tapi begitu aku pakai bahasa Indonesia, aku pakai yang baku. Malahan penuturan batak toba asli sudah tercampur dengan bahasa Indonesia.

Saat aku berbahasa Indonesia malahan dibilang medok jawa.

Tanya Jawab
Andi Gultom: Bagaimana pilihan antara menjadi penulis sastra dan menjadi Advokat? Padahal abang orang batak.

Aku berani bilang, bahwa di komunitas Batak, kesenian itu adalah sesuatu terasa sulit dipahami. Masih gamang untuk membicarakan itu. Padahal budaya lisan itu kuat. Dahulu di kampungku ada opera batak, melakonkan cerita marga, dibubarin sama opungku. Alasannya karena bukan seperti itu ceritanya. Maksudnya, ketika bicara kesenian yang adalah keterbukaan. Berangkat dari sana, di keluargaku jadinya tidak memperdulikan hal semacam itu. 

Nawirul Haqqi: Barangkali, bahasa sastra para ahli hukum hadir lewat Filsafat, bagaimana pendapat abang?

Bisa saja. Namun Aku tidak menemukan filsafat hukum di awal kuliah dahulu, aku temukan di semester 7. Dan ini sangat disayangkan. Walau begitu, menurutku bukan hanya di FIlsafat sebenarnya, di semua mata kuliah punya peluang dalam sastra. Kesimpulan ku di lingkungan hukum adalah dosen yang kurang membaca.  

Eka Dalanta: Sepanjang perkenalannya dengan dunia sastra yang berawal sebagai pelarian. Apa tujuan melahirkan karya buku ini?

Kemarin gagasan itu muncul aku mengikuti problematika sastra, tidak dalam-dalam banget. Dan satu hal yang aku ikuti bahwa sastra adalah hal yang serius, walaupun ada yang mengatakan itu dunia bebas. Dan tidak bisa di lepas dari latar belakang yang tidak belajar dari sastra, ada ketakutan bahwa yang aku tulis ini bukan puisi. Namun, bagiku puisi adalah bentuk tulisan yang jujur dari penulis. Setelah satu tahun, bukan jawaban malah jadi bertanya lagi, seberapa penting sih ini legitimasi dikatakan sebagai puisi.  Dengan bang Ate Arif yang memberikan prolog bukuku, membuat aku sedikit yakin ini menjadi puisi.