BAHASAHATI.COM, MEDAN – Mawardah, seorang penulis, pegiat literasi, dan pendongeng, membagikan kisahnya dalam membangun Taman Baca Masyarakat di Desanya dengan proses yang terbilang tidak mudah. Bersama Hasan Al Banna sebagai moderator pada Ahad, 17 Rabiulakhir 1446 H / 20 Oktober 2024 M bertempat Kede Buku Obelia Jl. Amaliun No. 152, Medan.
(Hasan) Apakah Kak Wawa (Panggilan akrap Mawardah) pernah mengalami yang dirasakan anak-anak sekarang?
(Mawardah) Tentu pernah dan sampai sekarang. Pertama di keluarga. Selalu disalahkan atas apa yang diperbuat di rumah. Saya gak mau pulang kampus begitu saja, tapi mau berkarya. Setelah ikut literasi penggerak Indonesia, membuat saya berubah.
Bukan orang tua yang berubah ya?
Bukan, diri saya. Orang tua saya tidak mendapat ilmu parenting. Tidak menyalahkan. Malah sekarang orang tua merasa jadi terinspirasi. Banyak anak-anak yang menceritakan diri saya ke orang tua mereka. Ini mengherankan mereka.
Ketidakpercayaan yang diberikan orang tua, yang selalu menyalahkan diri, semakin terpatahkan. Semenjak itulah saya harus memahami orang tua saya. Yang padahal saya suka bermain, dan kesannya jadi suka melawan. Mama gak suka anak perempuannya keluar malam.
Mungkin kita mengalami, Wawa ini awalnya tidak percaya diri dan cenderung introvert. Terlepas dari dosa-dosa masa lalu kita. Dari beberapa narasumber Cakap Asyik, mengatakan bahwa tanpa disadari ada riwayat literasi di masa lalu. Banyak keluarga di Indonesia, 92 persen mahasiswa UNIMED tidak mampu mengenalkan dirinya dalam satu menit (mentok di makes mikes).
Dalam proses selanjutnya, kak Wawa banyak terlibat di komunitas Literasi (TBM) dan dekat dengan anak-anak, program di Desa. Dari semua hal itu, ujuk-ujuk kak Wawa yang bercerita tanpa teks itu, seperti apa proses kreatif mendongeng?
Anak-anak itu senang mendengar dongeng, khususnya yang ada nilai moralnya. Tentu saya setelah mengikuti pelatihan.
Apakah konsep itu kemudian menjadi teks?
Ada, namun hanya garis besarnya saja.
Pernahkah kak Wawa sempurna menuliskan teks dongeng walaupun saat dipersentasekan ada perubahan?
Kalau dikatakan rampung, tidak seluruhnya. Tapi kuncinya, yaitu komunikasi, ceritanya dapat dinikmati oleh anak-anak. Tapi, ini proses diluar kepala. Alur harus sudah tahu. Konflik, Solusi, dan hikmah.
Jadi, teknik-teknik tradisional, secara tidak sadar, sudah dilakukan. Yang tanpa sadar di luar kepala. Dongeng sama juga dengan naskah drama. Dimensi teks dan visual (pertunjukan).
Kak Wawa punya keinginan tidak untuk merampungkan teks dongeng di akan datang?
Rasanya ada, tapi belum dilakukan.
Saya banyak bertemu dengan pendongeng. Orang yang terampil berbicara dengan hanya tahu alur, ada juga yang teks dirampungkan sehingga bisa dikembangkan. Pernahkah kak Wawa menjadikan teks-teks dongeng menjadikan referensi untuk mendongeng?
Pernah, saya pernah membaca dongeng dan menonton dongeng. Misal asal usul Batang Kuis, saya mencari lewat internet (tidak lewat Pusda ya? Iya bang. Nah inilah sebenarnya lemahnya kita. Betapa rendahnya peradaban leluhur itu sangat penting) Jadi ceritanya bisa dari badan bahasa dan Tribun, ada dua versi, pertama, ada pemuda Kecak Medai (ganteng dan kuat) anak kesayangan raja, terjadi pertarungan, lalu ia bersemadi, dan badannya jadi keras dan mati dalam keadaan itu, Batang itu badannya dan Kuis itu kumisnya. Kedua, datok Kuis, lalu ada batang yang tidak bisa di angkat dan ia mengkuis atau memotong. Di antara dua itu lebih ke Kecak Medai.
Terakhir, apa mimpi kakak untuk anak-anak Desa?
Mimpi saya, yang paling terbesar, pengen menulis tentang jejak saya sampai sekarang dan anak-anak dekat. Di Desa saya, saya mau anak-anak menulis kebahagiaan bertemu dengan wawa.
Pertanyaan peserta:
Ahmad Hakiki: pernah tidak menceritakan dongeng itu pemetaan masalah tanpa potensi? Misal ke korban bencana, anak pinggiran kota. Bagaimana tanggapan kakak soal Pendidikan kita kini? Jadi kapan kakak menceritakan dongeng ke anak kakak?
Jernih: Saya (marga) Siregar dan besar di kampung Desa Batang Bogar di Labuhan Batu Selatan. Perpustakan Desa tidak ada. SD tidak ada buku sampai kurikulum masih pakai orang tua kami dulu. Respon orang tua terhadap literasi adalah penolakan dan pemuda setempat adalah dana. Bagaimana kakak melakukan negosiasi?
Jawab: (Hasan) Gampang saja, dari dulu banyak cerita itu biasa saja. Ruang-ruang kreatif dari cerita rakyat untuk diceritakan ulang adalah sangat asyik. Tapi apa pun yang diceritakan ulang itu berasal dari cerita aslinya. Untuk pertanyaan bang Hakiki yang terakhir itu saya juga mendoakan secepatnya.
(Wawa) awalnya, modal buat beli rak saja susah, jadi buat dari kardus dan di tempel dekat ruangan dekat anak-anak yang menunggu ayahnya di kusuk. Saya menyebarkan info mendongeng sampai 100 anak. Ada juga suara sumbang orang tua yang menyesal membawa anaknya ikut kegiatan. Tapi saya fokus kepada yang bisa saya kendalikan. Saya yang mampu berpuisi, saya ajak anak-anak SMP dan membuat orang lain tertarik. Buat lapak baca dan mau memegang.