BAHASAHATI.COM, MEDAN – “Dunia kepenulisan ini adalah satu hal keberuntungan yang saya punya.”ungkap Hanifa Wardani, seorang penulis buku Intuisi Rasa dan Alumnus Fakultas Psikologi UMA ketika ditanya oleh Hasan Al Banna sebagai moderator pada Ahad, 07 Jumadilakhir 1446 H / 08 Desember 2024 M bertempat Kede Buku Obelia Jl. Amaliun No. 152, Medan.
Hasan al-Banna: Saya selalu tertarik dan berbeda rasa saat mengundang orang-orang yang di luar area sastra. Kak Hanifa yang merupakan alumnus psikologi dari Universitas Medan Area (UMA). Pertama, apakah Kakak sejak dahulu tertarik teks sastra, atau jangan-jangan hanya ingin menulis catatan harian atau seiring waktu kakak mengenal sastra apa yang dirasakan?
Hanifa Wardani: Saya awalnya jatuh cinta pada psikologi, lalu dari ini saya jatuh cinta menulis. saya awalnya hanya sebagai pembaca, membaca buku psikologi, novel, filsafat dan self-improvement suka dari SMP. Sepupu saya ada seorang psikologi dan dokter, dari cerita mereka saya menjadi tertarik. Saat di SMA saya masuk yang dekat perkantoran, ilmu psikologi saya dimanfaatkan untuk mengenal manusia.
Setelah psikologi, adalah fiksi-fiksi psikologi sastra yang kakak baca, atau hanya membaca yang disuka?
Dunia kepenulisan ini adalah satu hal keberuntungan yang saya punya. Tidak ada terlintas saya berpikir akan bisa menulis novel. Saya nggak tidak pernah menulis untuk surat kabar. Namun, saat kepala saya bising, saya merasa ingin menulis. 50 persen dari buku Intuisi Rasa ini adalah bagian dari personal saya yang didapat setelah masuk psikologi.
Berkaitan dengan itu, saya jujur secara akademisi dan kuliah serta pekerjaan, kakak menabung kepribadian manusia. Apakah menurut kakak itu membantu dalam menciptakan karya kakak?
Ada satu part yang menarik dalam buku Intuisi Rasa, ada satu mata kuliah yang melakukan penelitian lapangan di rumah sakit jiwa, awalnya saya menulis di website storial.co yang sudah close dan yang membaca ribuan, dan banyak yang penerbit yang menawarkan kerja sama penerbitan. Namun saya masih berpikir bahwa cukup di baca online saja.
Akhirnya, saya ada ikut satu talk show penulis Syahid Muhammad, seorang novelis baru, yang membuat saya mau menerbitkan ini, saat membaca buku yang bertema kesehatan mental membuat saya terinspirasi, sampai saya ingin menuliskan buku ini agar bisa berkontribusi untuk psikologi atau rumah sakit jiwa.
Apakah kakak sadar bahwa buku ini yang bertema psikologi akan terus berkontribusi?
Pasti ingin buat buku yang lain, puisi atau kumpulan cerita pendek. Saat ini saya buat buku yang masih bertema kesehatan mental, tentu saya ingin buku ini bukan hanya dibaca para penyintas tapi semuanya, hari ini banyak orang-orang yang mudah melabeli sedang terkena penyakit mental.
Baik, saya makin cemburu. Kecemburuan saya yang kedua adalah kakak ini punya bahan yang banyak, ia berbicara kelak apa pun yang dikerjakannya dalam novel ini adalah bahan dasar fiksi yaitu kemanusian. Walau kakak tidak bermimpi menjadi penulis, setelah dari keluarga yang membantu kakak dengan teks-teks psikologi, saya anggap kakak yang aman dengan ekonomi. Yang saya satu, orang kaya jarang yang mau tahu buku. Apakah di keluarga kakak ada praktik literasi semasa kecil?
Sebenarnya di rumah, Ayah Ibu saya langganan surat kabar Analisa dan majalah Bobo, tidak diperkenalkan secara langsung ajakan membacanya, tapi dari kecil orang tua cukup ketat. Saya cucu perempuan pertama dan cucu terakhir. Jadi cukup terkekang. Tidak banyak hal yang dapat di ekspor. Di rumah saya nggak punya hal lain selain aktivitas belajar, walau tidak di paksa juga untuk juara kelas. Tapi saya usahakan juara dalam suatu hal agar bisa ketemu banyak orang. Setelah itu, saya ketemu banyak orang dan belajar banyak dari situ. Saya kenal karakter banyak orang.
Bisa tidak kakak membayangkan kalau kakak tidak masuk ke jalur psikologi, mungkin kakak tidak akan banyak bergaul dengan semua lapisan masyarakat?
Sebenarnya, merasa dahulu hidup yang membosankan dan kini setelah mengenal psikologi, memberikan buku-bukunya, walau bukan hanya dari mereka, saya baca artikel di website, dan dari obrolan-obrolan dari mereka saya merasa senang menjadi pendengar, saya bisa ambil pelajaran dari itu.
Saya pertajam lagi, apakah kalau bukan karena jurusan ini, misal saya jurusan matematika akan jadi seperti ini?
Pernah, tapi saya dulu tertarik pada dunia lukis tapi nggak bisa melukis dan senang datang ke pameran lukisan. Meski sempat les melukis tapi sepertinya bukan di sana.
Menurut kakak mendapat hidayah seni dari mana?
Nggak tahu dari mana.
Apakah saudara-saudara kakak ada yang menulis?
Tidak.
Apa respons mereka setelah kakak tahu menulis?
Mereka juga mempertanyakan bisa masuk dunia menulis, saya katakan ini juga bisa bagian dari metode psikologi menulis dan membaca. Sebetulnya saya juga belum pede untuk di sebut penulis. Namun harapan penerbit merasa buku ini akan memberi manfaat.
Apakah ada orang-orang yang kenal kakak mempertanyakan kepenulisan ini?
Tentu ada, bahwa psikologi praktek menulis ini tidak dekat saat di kuliah. Beberapa waktu lalu ada yang mengundang saya untuk membicarakan kepenulisan bagian dari psikologi di kampus.
Selalu menyenangkan sebagai pemegang kebenaran sastra itu, dimasuki orang-orang yang di luar sastra. Dan sampai menjadikan psikologi sebagai penopang kepenulisan. Apa kemudian referensi buku fiksi yang kakak baca mengenai psikolog? Bagi saya, tidak sampai mempertanyakan sastra itu ditulis dari disiplin ilmu apa.
Kalau buku saya baca apa saja. Nggak mesti dari mana. Kalau bang Hasan merasa cemburu dengan saya, saya juga cemburu dengan abang yang bisa menulis puisi. Saya merasa tidak mampu menulis puisi karena bisa memilih kata-katanya. Saya kagum dengan orang yang bisa menulis puisi.
Dalam tanda petik, apa impian kakak terhadap keberlangsungan menulis ini?
Ingin membuat banyak media untuk para penyintas, karena S1 masih belum bisa di sebut psikolog tapi disebut konselor. Saya masih aktif memberikan konseling bagi teman-teman yang mau kenalan dulu dengan proses psikolog yang lebih tinggi.
Respons Audiens:
Juhendri: Kalau kita liat yang seorang Darmanto Jatman seorang guru besar psikologi, yang banyak menulis puisi dengan banyak mencampur banyak bahasa. Saya berharap nantinya kak Hanifa bisa juga menulis sastra. Cuman sebetulnya orang-orang sastra ingin orang-orang psikologi yang mengulas hasil karya sastra yang ditulis. Pada dasarnya sastra itu ada psikologi. Namun sebetulnya yang membuat sakit pada manusia hari ini adalah akibat dari teknologi bukan hal fundamental rasa sakit itu dari kemanusiaannya. Sastra yang menawarkan empati dan sikap simpati. Sehingga disayangkan pemerintah tidak mengarah ke sana. Berikutnya saya berharap juga ikut memotivasi penulis untuk membicarakan psikologi dan bukan hanya tipologi. Maka perlu ada psikolog yang mendorong hal ini.
Eka Dalanta: Ngomongin sastra kan berhubungan dengan manusia. Yang membuat karya sastra itu lebih kuat. Hanifa ini punya amunisi yang banyak dari psikologi. Kondisi jiwa manusia yang dipahami menjadi modal yang kuat untuk prosais. Harapannya dengan punya ini, kakak juga menjadi prosais. Dan meramaikan dunia sastra di Sumut. Pertanyaan saya, kakak yang punya ilmu psikologi dan masih minder juga untuk menulis buku, itu bagaimana pula nantinya para penulis yang tidak paham psikologi?
Penutup dari Hanifa Wardani: Sebetulnya dibilang minder, saya tidak dekat dengan orang-orang literasi. Makanya Intuisi Rasa ini baru kembali setelah berhenti lama sekali. Jadi, baru sekarang ikut komunitas buku dan kenal orang-orang penulis. Dulu ada beberapa komunitas yang saya kenal saat buku ini pertama kali terbit. Kecemasan saya setelah buku ini terbit jauh berkurang.