Hasan Al-Banna: Mari kita mulai mengenai masuknya Tommy ke dalam komunitas, dengan niat A, apakah akhirnya mendesain ulang niatnya setelah masuk?
Tommy: Sebelum itu, saya merasa cukup terhormat dengan diundangnya saya disini, saya pun menceritakan beliau ke anak-anak murid saya.
Pertama kali saya masuk kuliah, jujur saya bukan basic eksak (matematika). Saya pun mencoba snmptn tapi gagal, lalu mencoba sbm. Saya orang yang bukan bahasa daerah, ibu saya chines, ayah saya batak dan hidup dilingkungan melayu. Jadi impian saya mau jadi guru, tapi malah masuk ke jurusan sastra, bahasa dan budaya. Tapi, karena saya paham kalau tidak saya ambil, karena saya bidik misi. Lalu abang saya marah, karena gak mesti kuliah sastra untuk bisa jadi penulis, aktor, tapi saya berpikir positif untuk bisa serius menjalani kuliah ini. Ketika sudah masuk, maka saya cari apa yang akan saya pelajari, ada lima, jurnalistik…. saya kuasai kelimanya. dan saya mulai dari apa yang saya suka, yaitu musik. Lalu, saya ditawari memulai dari musikalisasi puisi, pun saya punya pengalaman di SMA, oleh kak Mawardah saya belajar bersamanya memulai aransemen yang dikatakan sama dengan fajar merah, kebetulan sama.
Kepala Revolusi, komunitas sastra di UNIMED saya gabung. Mereka mengiming” untuk bisa langsung tampil teater taman budaya. Tapi ini dari prodi pendidikan. Setahun kemudian hilang. Akhirnya saya bingung. dan mengusahakan lagi kembali kehadiran komunitas sastra. Tapi, saya diikutkan pertukaran mahasiswa ke jogja dari prodi. Balik dari itu, saya membangun Komunitas Ruang Sastra (korsas).
Baca Juga: Ngobrol Buku: Juragan Haji | Helvy Tiana Rosa
Bagaimana perjalanan Komunitas Ruang Sastra (Korsas) kepada adik-adik?
Kami memulainya dari tulisan. Tapi satu tahun, adik-adik meninggalkan komunitas karena gak mau hanya nulis dan diskusi.
Apa penyebabnya?
Ini memang Ironi, kebanyakan mahasiswa berniat masuk jurusan sastra, yang penting kuliah. akhirnya kami turuti, untuk membahas pertunjukan.
Apakah memang menurut bang Tomi, iklim perkuliahan mendukung mahasiswa enggan?
Ketika saya melewati perkuliahan, memang benar, iklim kampus, memang sistem pendidikannya hanya fokus pada jurnalistik dan linguistik. Sampai 2017 berubah dan mau fokus pada penulisan. Kilas baliknya, ada dosen yang menyelesaikan S3 dan kembali ke Unimed, akhirnya kembali iklim tersebut.
Setelah mereka enggan, apakah orang abang membuat variasi, tapi walau saat dua bulan lalu saya datang, kualitasnya sama saja. Apakah variasi itu ada berakibat perubahan?
Beberapa kali terjadi perubahan” ketua komunitas. Saya sebagai ketua pertama, semua saya jalani, lima komponen dalam sastra Indonesia. Mulailah Bagas Mahardika, Hadad, tapi saat mereka tidak menemukan passion, seperti Titan yang hanya menulis puisi.
Apakah sejak awal, perjalanan Korsas, mengkotakkan keahlian?
Ada, pun saya mau mengadopsi kelas menulis di balai ke komunitas tapi tidak berhasil dibuat.
Bagaimana Korsas sekarang? Apakah permasalahan dan cita-citanya sama?
Yang sekarang, dua pengurusan dua tahun lalu, Korsas turun namanya. Sekarang sudah mulai kembali kepada jalan yang benar. dan jurusan sudah banyak masuk kesana sebagai penulis.
Apakah Korsas di kampus, masih independen kan, apakah ada saingan Korsas?
Di sastranya tidak ada.
Kawan-kawan, saya kemudian tersulut saat Alda mengusulkan Tomy untuk diundang. Membahas komunitas sastra yang surut.
Saya ingin mendengar ulasan pikiran, di titik mana kampus bisa menyemangati mahasiswa, terlepas komunitas atau sanggar baik dari kampus atau tidak. Apa yang seharusnya kampus buat?
Kalau boleh mencontoh, saat saya pertukaran mahasiswa itu di UGM, saya banyak mendapat pelajaran. Dosen, memberi tugas mahasiswa hanya baca, dan mahasiswa diminta buat tugas untuk keperluan administrasi. Menurut saya, mahasiswa dan kampus harusnya sebagai tempat berfikir. di Jogja, saya jumpa orang binjai yang jadi penulis hebat di jogja. Jadi, kampus sekarang, di UNIMED, tugasnya berbentuk sempit, hanya nilai. Dosen, yang menganggap hebat dengan menyuruh mahasiswa untuk berjumpa dengan sastrawan. Jadi, ayo berpikir.
Ngga salah juga untuk menyuruh mahasiswa jumpa sastrawan, tapi landasan tugas itu tidak kuat sebatas nilai.
Leha: Mengingat kampus yang telah lama ditinggalkan, pun kesalahan juga ini. Untuk pertama kali Leha merasa jurusan yang mengklaim komunitas tidaklah tepat. Berkembang mendapatkan arahan, lalu dapat ruang, jadi tidak fokus. Aku tidak peduli adanya komunitas itu ada di jurusan atau tidak. Yang penting saya berkembang dari komunitas. Leha pun lupa kalau pernah bisa menyumbang ke Tomy. Tapi Leha pun tidak tahu apa yang harus di sumbangkan sekarang.
Apapun jurusannya, Mahasiswa harus punya ruang lain selain dari jurusannya. Bahwa sastra, baik disadari oleh pihak jurusan atau tidak, kita harus tetap buat ruang itu. Saya pernah berdebat dengan dosen, menyuruh mencari itu bukan karena anda malas ya.
Eka: Persoalan ini sama, kampus yang sebagai institusi dan ramah intelektual, mengeluarkan para ahli, membicarakan sastra sebagai teori. Karena saat di kampus, ia sebagai ilmu. Pemikir-pemikir itu harusnya lahir dari kampus. Perkembangan di Sumut ini luput dari perhatian. Banyak faktor, di kampus sendiri, dan mahasiswa juga. Pilihannya tidak sadar saat masuk keilmuan sastra. Kuantitas pembacaan yang kurang, institusi juga yang apakah ada dorongan untuk membaca. tenaga pendidik yang pengetahuannya termutakhirkan. Buku”nya apakah yang terbaru.
Penutup:
“Saya yang mendampakkan diri ke komunitas. Saya menjadi mentor kelas menulis di Unpri, sekolah saya mengajar. Ini lah saya berikan kepada Adik-adik Korsas. Anak SMP pun saya bilang lebih bagus tulisan mereka daripada anak kampus, komunitas. Anak UNIMED yang tugasnya menumpuk, tidak sempat lagi untuk menyediakan waktu untuk berkreatif. Mudah-mudahan dengan ada diskusi ini, dapat memberi jalan. Saya mengutip perkataan dari Dani Sukma AS yang masih ia ingat sampai sekarang ‘Kenapa kita harus menulis? Tuhan saja menulis, buktinya ada kitab suci.'” tutur Tommy.
Lokasi Cakap Asyik: Kede Buku Obelia
Waktu: Sabtu, 14-08-1445 H / 24-02-2024 M
Dapatkan Informasi diadakannya Cakap Asyik lewat Instagram @kedebukuobelia