Catatan 01,5 : Cinta Sederhana di Bulan Juni

Avatar photo
Reading Time: 2 minutes

Catatan 01,5 : Cinta Sederhana di Bulan Juni

25 Zulkaidah 1444 H

Sejak aku mendengar musikalisasi kumpulan puisi pak Sapardi yang dibawakan oleh Ari Reda, memuncak cintaku pada perpuisian. Mungkin aroma nostalgia dari jenis musik yang diimplementasikan oleh Ari Reda, mengingatkanku pada setiap hari minggu, kala itu Ibuku selalu memutar lagu-lagu tahun 90-an.

Dua puisi yang paling mengena, “Aku Ingin” dan “Hujan Bulan Juni” adalah salah dua terbaik. Ringan sekali baitnya diingat dan mudah bersemayam dalam pikiran dan perasaan.

Ku ucap terimakasih kepada bung Titan yang telah menginformasikan musikalisasi mereka.

Selain dengan hujanya yang khas, bulan juni mengingatkan ku pada banyak hari kelahiran. Seorang kekasih, hari jadi pernikahan, kelahiran seorang ayah, dan banyak hal lain (juga 1 juni yang masih didebatkan apakah ini tanggal yang tepat untuk ditetapkan menjadi hari lahirnya Pancasila).

Pun sebenarnya, aku tipe yang (berusaha) tidak peduli pada hari peringatan, bukan karena tidak ingin mensyukuri tapi sekedar tidak ingin saja, hehe.

.

26 Zulkaidah 1444 H

Tak sanggup aku menyelesaikan catatan di hari kemarin. Karena sebenarnya konten “catatan” ini adalah program menulis sebelum tidur. Namun nyatanya, sulit sekali untuk menghentikan scrolling IG Reels. Padahal diriku tahu kalau gak ada hal penting untuk aku ketahui, apalagi setelah aku menyaksikan penjelasan para mantan pegawai dari google, twitter, dan lainnya yang mengakui penyesalan mereka terhadap dampak buruk yang kian menjelma menjadi parasit yang menghancurkan berbagai sisi kemanusian. 

Mereka paparkan lewat sebuah film dokumenter berjudul “The Social Dilemma” yang dapat kamu tonton legal (harus resmi jangan bajakan ya!) di app Netflix. Atau bila kamu tidak berlangganan, kamu dapat menyaksikan penjelasan oleh salah satu Youtober di kanal bernama “Kamino” yang judulnya “Attention Economy: Bagaimana Teknologi Membuat Kita Kecanduan HP dan Media Sosial”, pun ini juga mengutip beberapa penjelasan yang sama dengan film dokumenter Netflix.

Ketahuilah, bahwa aku tak sanggup menghabiskan film 1,5 jam itu dalam sekali duduk. Bukan karena tidak bagus, tapi aku tak sanggup ditampar fakta-faktanya.

Kalau tidak salah, pada 30 menit pertama, kuhentikan filmnya sembari mematikan lampu kamar dan mencoba untuk tidur seakan tidak pernah menonton film tersebut. Hasilnya? mata dan pikiranku dibuat tak bisa beristirahat. Akhirnya aku lanjutkan sampai habis dan? inilah aku sekarang, masih dan/atau kadang terjebak dalam ketahuan (bukan ketidaktahuan) bahwa sedang melakukan sebuah kesalahan. Sudah lama aku merasakan teori atau opini dari film itu, tapi kini opiniku telah divalidasi oleh pencipta fitur algoritma (pernah nggak kamu lagi pingin sesuatu, terus muncul iklan tentang barang yang  ingin kamu miliki, pernah? pernah dong, pasti, awkwakawk).

oke, sepertinya aku sudahi dulu cerita di akhir hari perspektif pergantian waktu pada hijriyah (lewat bulan).

Wallahu A’lam Bish-Shawabi