Catatan 02: Hikmah Itu Pemberian
Mari sama-sama kita telusuri.
Ketika kita lahir ke dunia, nama yang melekat pada kita adalah pemberian. Tak ada tuh yang sedari keluar dari perut ibu membawa proposal nama-nama yang kita mau. Kita hanya bisa berucap “oek-oek”.
Dua tahun diberi asi, karena memang itu yang mampu kita konsumsi. Serta belaian kasih, pun itu adalah pemberian.
Saat sudah tumbuh besar, kita diberi pengetahuan cara berbicara, membersihkan tubuh, kebutuhan tidur untuk istirahat.
Pelan-pelan kita mengenal dunia lewat dari orang lain. Kiranya secara tidak sadar, kita butuh orang lain memberikan informasi tentang apapun itu.
Beberapa tahun lalu, aku pun memberi tahu kepada Ibu, kalau aku bukanlah miliknya. Aku hanyalah hamba Allah. Tak perlu merasa memiliki jiwa dan ragaku. Karena sekalinya merasa memiliki, yang ada hanya rasa sakit. Sekalinya bahagia, pun tidak dapat bertahan selamanya.
Tentu awalnya Ibu keheranan dengan informasi yang aku berikan, namun seiring waktu berjalan, akhirnya ia memahami, bahwa aku bukanlah miliknya. Pun begitu juga denganku, orang tua bukanlah milikku, mereka hanyalah pemberian dari Allah swt. Sewaktu-waktu akan berpulang, dan aku dengan penuh harap berdoa, bahwa kami akan berakhir di dunia dalam keadaan Islam.
Jika merasa memiliki, cepat atau lambat kita akan merasa kehilangan. Begitulah ketika aku merasa memiliki seseorang yang aku sukai, pernah berharap ia akan menjadi pendamping hidupku. Mungkin karena aku tak merasa nyaman cerita ke orang lain, tapi setidaknya aku menikmati kenyamanan jika menceritakan kepada seorang pasangan. Namun, ada baiknya aku mencoba menahan keinginan, hehe.
Syukurnya, beberapa waktu ini viral tuh kalimat “tidak ada jodoh sebelum ijab kabul, sebelumnya hanya zina”. Kalimat ini telah lama aku pegang, terlalu sulit untukku mengabaikan ayat-ayatNya. Padahal ayat ini tidak aku baca saat sholat loh, malahan esensi ayat ini tak mampu lepas kan. Jangan dekati zina.
Memiliki arti nama Cahaya Kebenaran pun sepertinya mengarahkan algoritma kehidupanku pada satu titik terang, kalau hidupku tidak akan tenang tanpa cahaya yang benar. Karena pernah dahulu aku coba lari dari kebenaran, yang ada malah aku yang menyiksa diri.
Antara yang Allah beri sama yang tidak Allah beri, mana yang mampu kita hitung? Sepertinya lebih mudah yang tidak diberi ya? Namun ketahuilah, kebahagiaan mana yang lebih baik dari pilihan-pilihan Allah? Setidaknya itu yang aku percayai.
Sebagaimana Ali r.a berbahagia 10x lipat karena yang terwujud adalah pilihan Allah, kalau pilihan sendiri yang terwujud pun ia berkata itu cukup membahagiakan, namun tidak dengan yang murni menjadi pilihan Allah swt.
Wallahu A’lam
.
Penulis: Nawirul Haqqi