BAHASAHATI.COM, Medan -Narasumber Hasan Al Banna dan Juhendri Chaniago dipandu Eka Dalanta sebagai moderator. Novel yang terbit pertama kali 1999, karya yang banyak dibicarakan, dan sudah dicetak berulang kali. Buku ini bercerita tentang seorang Perempuan Betawi Thionghoa yang telah menetap di Belanda, ia datang lagi ke Indonesia untuk mencari jejak keluarganya—Ibunya. Ca Bau Kan itu Perempuan simpanan Thionghoa, dalam perjalanannya dia menemukan banyak Sejarah. Obroran ini diadakan di Lantai dua Musium Juang 45 pada Ahad, 19 Syawal 1445 H / 28 April 2024 M.
Berikut catatan saya dalam kegiatan ini, selamat membaca!
(Eka) Bagaimana Remy bisa menghadirkan cerita seperti ini?
(Hasan) Remy Sylado (tangga nada) merupakan nama pena dari Japi Panda Abdiel Tambajong, saya pernah beberapa kali bertemu, kami menyebut dia sebagai orang yang multibahasa; bahasa asing dan daerah. Kemampuan multi bahasa itu menjadi kelebihan dan kepintarannya membuat novel 9 dalam 10 kata bahasa Indonesia itu bahasa asing. Ini membuktikan kemampuannya. Sangat disayangkan ia telah berpulang tahun lalu. Ia kuasai bahasa dan menguasai kultur lalu dimanfaatkan dalam buku.

Foto dari IG @ngobrol.buku
Bagaimana ia menghadirkan Ca Bau Kan sebagai Sejarah?
Saya pikir novel ini sudah dirancang sebelum Revormasi, namun kejadian 98 menguatkan dirinya menerbitkan setelahnya. Remy mau memberihukan kepada kita bahwa tidak mudah sebenarnya membenci seseorang bila kita masuk kedalam kultur mereka. Remy dia ahli merekam bahasa yang kuat, akhirnya menurun pada kulturnya. Dalam novel ini banyak bangunan yang sekarang sudah berubah, hotel pertama di medan itu bukan Inna tapi yang sekarang menjadi BRI.
Kalau menurut Bang Juhe?
(Juhe) Sejarah itu penuh dengan bolong-bolong, dan sastra menutupi kebolongannya. Didalam Ca Bau Kan, ada dua kubu, yang satu murni Tionghoa dan satunya adalah campuran. Yang menarik, apakah karya sastra yang berbau Sejarah, pas atau tidak? Di Ca Bau Kan, Remy banyak menentang Sejarah yang salah dan meluruskannya. Juga siapa yang mempopulerkan kata Indonesia. Jadi, Remy ini juga tokoh yang kontroversi juga kalau sudah membahas Sejarah. Saya menemukan ada beberapa hal yang janggal dalam novel ini. Meskipun begitu, Remy punya perjuangan penting mengenalkan Sejarah yang tidak terungkap ke publik. Transimikolegial, tehnik antropolog, hadir dalam buku ini.
Menarik ya, aku punya banyak catatan yang ingin kutanyakan pada pemateri.
Bahwa dalam perjuangan RI ada juga ternyata peran Masyarakat Tionghoa. Walaupun ada juga yang merasa bahwa ia warga RRC yang hanya mencari makan di Indonesia. Tapi ada juga yang merasa menjadi bagian dalam lingkungannya.
(Juhe) Kalau kita lihat budaya kita, berdasarkan kisah-kisah klasik, ada satu patron yang kita membutuhkan pahlawan. Namun ada pula antihero. Cirinya protagonis yang moralnya tidak baik. Namun ada momen yang membuat kita simpati. Dalam novel ada tokoh tersebut bernama Tan Peliang. Kehadirannya membuat novel ini tidak hitam putih. Pun sampai memiliki ikatan emosional dengan pembacanya.

Foto dari IG @ngobrol.buku
(Hasan) Saya teruskan, bahwa secara diam-diam kita sebeanrnya tidak menerima orang sempurna. Kalau kita bercerita tentang seseorang yang baik bener, kita merasa berlebihan penceritaannya. Saya melihat dua Tan (tokoh) pintar betul Remy mengahadirkannya. Remy meminjam tubuh narator.

Foto dari IG @ngobrol.buku
Ca Bau Kan itu bukan Perempuan yang tak bermoral, secara benda, ini hanya pemantul saja, ini hebatnya Remy, di dalamnya kaya akan kultur dan bahasa. Jadi, Pemilihan judulnya bila memakai nama tokoh, malah tidak menarik. Penulis langsung menerangkan kata Ca Bau Kan itu di awal. Pintar betul Remy, ia memberikan catatan kaki pada kata yang asing.
Temuan saya, dalam kata dan bahasa yang menarik. Banyak perumpamaan yang kuat, seperti “Membuang Mutiara ke dalam Babi” (kutipan dalam al-kitab).
(Juhe) Penulis merawat bahasa lewat memunculkan kata bahasa yang klasik. Juga ada menciptakan bahasa baru. Ia memperkenalkan gaya bahasa seperti majas.
Setelah sesi pemaparan hasil pembacaan oleh kedua pembicara, dibuka sesi tanya jawab yang cukup menarik untuk kita simak bersama. Saya menjadi salah seorang penanya, berikut pertanyaan saya:
Nawir: Setelah menonton Film Dokumenter Tropic Fever oleh Sutradara Robin Hartanto Honggare yang diputar di Beranda Warisan Sumatra, membantu menguatkan pikiran dan perasaan saya soal tidak dibenarkan membenci Tionghoa. Temuan saya dalam Tropic Fever, walau tentu terasa pahit menerima fakta-fakta tersebut.
Baca Juga: Cakap Asyik Edisi 14: Dari Kaku Ke Ayu.
Selain tentang apakah buku ini memungkinkan sebagai alat bantu kita menemukan kebenaran Sejarah yang mungkin banyak tidak terungkap, bagaimana cara kita melahirkan kembali sosok seperti Remy Sylado?
Dapatkan jawabannya lewat recording dibawah ini untuk mendapatkan pengalaman yang lebih baik 🙂
Download recording:
Selain saya, ada beberapa pertanyaan yang tak kalah menarik untuk disimak, silahkan download lewat link dibawah ini:
Terakhir, masing-masing pembicara memberikan pernyataan penutup, download dibawah untuk menyimaknya: