Padahal lebih baik kita coba aja dulu, segala ketakutan akan perubahan hanya memberi dampak buruk pada cara kita membuat keputusan.
Kemanapun kita pergi, ke tempat tak berpenghuni sekalipun, ketahuilah bahwa akan datang masa di mana kita berbahagia dengan pertemuan. Dengan orang yang paling kita benci dan ingin ia mati, bibir kita tak mampu menahan daya tariknya ke sudut mata pada kedua sisi. Pun dengan orang-orang yang terkasih, rasa-rasanya ingin memeluk, meraba kedua tangan dan mencium dengan keharmonisan.
Pun juga berlaku sebaliknya. Akan ada masanya kita merindu dengan kesendirian. Sekalipun tempat itu adalah bilik penjara, rasa-rasanya itu lebih baik daripada aib yang terbuka di sosial media. Apalagi itu berimbas lebih parah di dunia nyata. Dileburkannya keharmonisan hanya karena realita tak sebaik ekspetasi.
Jadi, lelah kita lelah untuk memilih pergi. Pulang pun tak akan memberi arti. Dipenuhi ekspetasi yang tidak lagi bisa dicita-citakan. Menyesal? Iya. Sekuat-kuatnya tembok, pun bisa juga roboh dengan segala cara apapun. Namun tidak dengan keimanan, begitu kata seorang bijak. Dan aku telah membuktikannya, sulit sekali dalam meniadakan iman. Dijalan berbatu dan berbau sekalipun, tiada mampu aku tiadakan dan bumi hanguskan.
Yang akan datang adalah ketidaktahuan. Satu detik pun tak mampu kita hadirkan sebuah kebenaran mutlak. Bukanlah tugas kita untuk mencari tahu. Tugas kita adalah memupuk mental menjemput kepastian.
