Prolog: Dihentakkannya bumi dan langit hanya untuk menegurku.
Tiada yang lebih tabah, dari benci yang membenci.
Tiap detik dibuatnya buntu dan menyempit pada pilihan-pilihan pikiran. Pintanya, sebisa mungkin aku menyelesaikan—apapun pekerjaan—dengan tempo yang sesingkat-singkatnya.
Dibuatnya ujung jariku tak bisa diam. Pun dipaksakan menggenggam juga tak memiliki kekuatan yang berarti. Sejalan dengan pikiran yang kebingungan, jari kehilangan daya juangnya.
Dia berkata “Bagiku, kebahagiaan dan kesedihan tiada mungkin bisa terpisahkan”.
“Berbahagialah kalian, para pendusta perasaan yang penuh kebohongan! Tak menjadikanku selimut kenyamanan. Meniadakanku untuk memilih jalan kehidupan yang ditolak kebanyakan”.
“Bersedihlah kalian, para pembela pikiran yang penuh kesombongan! Tak menjadikanku perisai kebijaksanaan. Menghadirkanku untuk memilih jalan kehidupan yang diterima kebanyakan”.
Baginya tak terpilih adalah kebijaksanaan. Akan tetapi, tak diinginkannya kehadiran ditengah kesombongan. Dan disesalkannya ketidakhadiran saat kesalahan menaungi pilihan-pilihan.
Setiapkali dia disalahgunakan, baginya itu ujian ketabahan. Tiada mungkin bisa didapatkan, surga yang telah dijanjikan, dengan pilihan yang tidak mencerminkan kesabaran. Hingga akhirnya, dia hanya bisa diam. Karena begitulah kata-kata seorang yang bijak bahwa diam adalah emas.
Tiada mungkin bisa mulia, tanpa adanya harta untuk membahagiakan.
Baginya kehidupan yang miskin hanyalah milik si pemalas.
Tentu aku yang mendengarnya mengungkap bahasa hati telah dirudung kebingungan.
“Apa maumu sebenarnya?”.
Aku sungguh tidak habis pikir bagaimana jalan pilihanmu. Meniadakan yang jelas telah tiada. Asa mu sunggung mengasakan aku.
Tak bisa aku terasah dalam pengertian. Siapa yang sebenarnya tertiadakan oleh dan/atau kehadiranmu.
Bagaimana caramu menjelaskan kebingungan ini?
Tolong, jangan membenciku.
Epilog: Dinaunginya raga dan jiwa hanya untuk membunuhku.