Kenyamanan Tidak Bisa Didapatkan Dengan Kenyamanan

Avatar photo
Reading Time: < 1 minute

Prolog: Dunia adalah tempatnya ujian, maka siapa yang bisa tenang menghadapi ujian dengan kebodohan?


Bagaimana mungkin kepintaran datang dengan ketiba-tibaan. Dilekatkannya buku ke atas wajahnya saat tidur, berharap isi buku itu berpindah ke dalam otaknya. Jangankan masuk ke otak, melekat dirambut saja tidak mungkin bisa.

Hingga kertas ujian tiba di hadapan wajahnya yang memerah karena ditimpakan buku-buku, pada akhirnya kertas jawaban itu pun ikut memerah, tertipa air mata darah kepasrahan atas ketidaktahuan jawaban.

Tetapi, duduk disebelahnya seorang yang matanya lebam menghitam, bukan karena pukulan tinju-tinju perudungan, tapi disebab rasa kantuk yang ditahan semalaman menghapal materi yang diujiankan.

Sambil terkantuk-kantuk dia ukir setiap jawaban-jawaban. Terlihat raut wajah kegembiran, semua materi yang dia hapalkan, hampir menjadi soal ujian. Selebihnya yang tidak bisa dia jawab, dia tinggalkan dengan kesedihan. “Andai aku belajar dengan sungguh-sungguh dari awal pembelajaran” tuturnya dengan senyum miring ke kanan.

Ternyata disebelahnya ada sosok yang lebih unik lagi.

Matanya tidak ada lebam kehitaman, tatapan berbinar penuh kepercayaan, senyumnya selebar kapal pesiar. Tidak butuh waktu lama, dia menjadi orang pertama yang menyelesaikan ujian. Diserahkanya lembar jawaban, yang membuat seisi penghuni kelas kebingungan, terutama si pengawas ujian.

Akan tetapi, keterkejutan itu cepat tiada kala mereka tersadarkan dengan bagaimana waktu yang dia gunakan selama ini tepat dan benar. Yang memang telah menjadi waktunya, dipenuhinya dengan kesungguh-sungguhan.


Epilog: Akhirat adalah tempatnya mengetahui hasil dari ujian, maka siapa bisa tenang mendapatkan buku amalan yang diberikan dari sisi sebelah kiri?