Waktu menunjuk pukul 12.20 WIB seiring dengan kepergian aku dan ayah menuju masjid, 5 menit lebih awal dari jadwal masuknya waktu salat jumat.
“Setidaknya kami tidak telat seperti beberapa pekan yang lalu” ucapku dalam hati seiring ayah naik ke sepeda motor.
Jalur kepergian kami selalu sama tanpa terkecuali. Butuh kewaspadaan tingkat tinggi untuk menyelamatkan mata agar tidak kemasukan binatang kecil bila pergi di waktu salat magrib. Namun yang paling menantang di setiap perjalanan adalah aku yang selalu mawas diri.
Semenjak aku masuk kuliah dan setelah ayah sembuh dari penyakit stroke sedari dua tahun lalu, akulah yang mengendarai sepeda motor sambil membonceng ayah. Walaupun sesekali aku meminta ayah yang mengendarainya, bukan karena malas, tapi untuk mengenang kenangan. Lain kali aku akan ceritakan padamu tentang kenangan itu, hehe.
Dalam perjalanan aku melihat seorang ibu dan anak perempuannya (aku tebak umur anaknya berusia 2 tahun) berjalan perlahan menuju kami dari sisi jalan sebelah kanan.
Saat kami semakin mendekat, ku pelankan laju kereta. “Hmm, sepertinya anak ini akan berjalan ke badan jalan” jelasku dalam hati. Dan benar dugaanku, saat kami tepat berpapasan, anak itu secara tiba-tiba mencoba berjalan ke badan jalan. Namun, karena aku telah menduga-duga kejadian ini terjadi, alhasil tidak ada drama ala-ala sinetron tv label ikan terbang.
“Hati-hati qi, anak-anak itu suka jalan tiba-tiba, nanti kalau ketabrak, kita yang pasti disalahkan warga” tutur ayah menasehati.
“Hmm, tahan nawir, gak perlu ditanggapi nasehat ayah, ini sudah yang kesekian kalinya terjadi” bisikku dalam hati.
Jadi, aku telah katakan bahwa ini sudah yang kesekian kalinya nasehat ayah untukku berulang. Diamku adalah tanda telah mengerti. Karena dahulu aku telah mendebat ayah bahwa yang salah ya tetap si anak yang dengan tiba-tiba berjalan ke badan jalan atau aku menyalahkan si orang tua karena tidak tanggap dan siap dengan prilaku si anak. Tapi ayah tetap katakan bahwa tetap kita yang salah. Alhasil aku memilih menerima nasehat ayah, walau dalam hati terdalamku menolak, hehe.
Lalu perjalanan berlanjut dengan aku yang berseloroh “Jadi, bahaya apa lagi yang akan datang secara tiba-tiba?”.
Pertama, beberapa anak menaiki sepeda yang terlihat ingin menyebrang jalan dari sisi sebelah kiriku, ku pelankan laju kereta, dan benar saja mereka terlihat ragu untuk menyeberang dan memilih mengambil jalur lawan arah yang berarti mereka akan adu kambing (maksudnya kepalanya dan kepalaku saling bertabrakan) denganku, syukur aku telah mawas diri.
Kedua, kali ini ini seorang anak berjalan menunduk dengan jalur melawan arah di sebelah kiri, berarti bakal adu kambing. “Astagfirullah, anak ini!” keluhku dalam hati, syukur aku telah mawas diri.
Ketiga, ranting pohon cherry. Namun kali ini, dahan atau mungkin lebih tepatnya ranting yang menunduk ke badan jalan tidak menabrak kepala kami. Meski aku tetap menundukkan sedikit kepalaku, hehe (padahal gak kenaknya itu, yakin aku), syukur aku telah mawas diri.
Keempat, seorang lelaki kisaran umur 40 tahun yang hanya menggunakan kaos tanpa lengan. Kali ini tidak berjalan melawan arah, tapi ia salah jalur! “Harusnya ya dari sebelah kiri kan? Sebenarnya kalau jalan kaki itu, tetap sesuai jalur kendaraan kan?” tanyaku dalam hati.
Kelima, jalan beton berlubang sepanjang 100 meter. Dahulu, bila melewati jalan ini aku tetap memaksimalkan kecepatan laju kereta, yang akibatnya perut akan terasa perih karena goncangan yang dihasilkan. Untukku itu masih bisa ditolerir, tapi tidak dengan ayah. Ia memprotes dengan menyebutku tidak berperasaan. Lalu dalam suatu kesempatan aku katakana ke ayah kalau itu karena aku gak biasa bonceng, apalagi cewek, hehe. Syukur aku telah mawas diri.
Dan keenam, seorang lelaki kisaran usia 50 tahun secara tiba-tiba membunyikan klakson kepada kami. Aku cukup terkejut keheranan, tapi aku mencoba mengabaikan saja, toh aku gak merasa melakukan kesalahan, tapi kalau bukan karena sebuah kesalahan, harusnya klakson dibunyikan karena ia mengenal kami. Hmm, sudahlah aku gak tahu apa maksud beliau. Syukur aku telah mawas diri.
Kami semakin dekat dengan masjid dan aku merasa cukup dengan keanehan perjalanan kali ini. Akan tetapi, ternyata tidak. Ketujuh, sebuah kereta tanpa bodi, alias kosongan, terparkir di seberang depan gerbang masjid. “Aduh, ada-ada yang punya kereta ini, kalau sudah hilang, baru tahu rasa” pikirku. Tapi dalam sepersekian detik aku membatalkan dugaanku kalau si pemilik mempunyai ketakutan kehilangan kereta, ya siapa juga yang mau kereta yang sudah sengklek itu. Syukur aku telah mawas diri.