
BAHASAHATI.COM, MEDAN – “…puisi pertama dalam buku ini, saya tersenyum simpul. Menjadikan saya tergula-gila. Merasuk dan rasional. Tetapi tetap terasa insani.” ungkap Bersihar Lubis dan “…saya curiga, penyair sudah di ranah spiritualitas….” kata Juhendri Chaniago ketika ditanya oleh Titan Sadewo sebagai moderator dalam Ngobrol Buku Jenis-Genius Hujan karya Hasan Al Banna pada Ahad 26 Rajab 1446 H / 26 Januari 2024 M bertempat Kopitam, Komplek Taman Setia Budi Indah, Blok. UU No. 65 Medan.
Bersihar Lubis: Hasan baru saya menerbitkan Kopi dan Kepo masuk dalam tiga besar pilihan Tempo. Kalau Anda pembaca sastra, saya tidak tahu lagi kata apa yang bisa mewakili keirian saya padanya.
Membuat kredo di luar nurul: ia menyikapi ini dengan sikapnya.
Saya terpaksa pakai teks, takut nanti tergelincir, maklum sudah tua.
Ketika membaca puisi Hasan Al Banna (HAB) yang berjudul Tanya Jawab Hujan dengan seorang Lelaki yang Konon Seorang Penyair, puisi pertama dalam buku ini, saya tersenyum simpul. Menjadikan saya tergula-gila. Merasuk dan rasional. Tetapi tetap terasa insani. Si penyair tergula-gila karena hujan adalah anugerah Ilahiah, si penyair akhirnya di akhir puisi sujud pada yang pencipta. Ada 60 teks dari pengertian asal menjadi pengertian baru. Simaklah pada Hujan Senantiasa (isi puisi) sangat berbeda, asimetris. Muhammad Badzlan Darari, dosen Matematika UNIMED menemukan modifikasi kata dalam puisi ini (jenis-genius). Saya kira ini sebuah metamorfosa dari kepompong ke kupu-kupu, kata yang di otak atik sehingga muncul kosa kata baru. Karya Sutarji “Di mana Telormu” (isi puisinya). Bertelur dan menetas tidak lagi monopoli menetas tapi masuk kepada gambaran budaya. Metamorfosa membunuh kata dan menghidupkan kembali reinkarnasi, memunculkan makna baru. Puisi Afrizal Mana dalam buku Museum Penghancur … “Paru-paru penuh dengan sapi”, barang kali menginginkan revolusi di dalamnya. Yang lain, “Ayok minumlah…” Kekacauan inilah sebagai kosmos, perpaduan dari kekacauan dan ketertiban. Afrisal mengamini kredo Hasan dengan sedikit perbedaan. Bahasa plesetan yang hadir di Media Sosial, Hasan Bertanya dan menjawab sendiri …. Memang puisi tidak memperlukan juklak, teknis perpres, selagi ia menyuarakan kemanusian maka ia bukanlah anak haram. Judul puisi Hujan, hanyalah suatu alat untuk menyampaikan sesuatu.
Apa yang saya katakan terlalu singkat, silakan baca sendiri bagi anak-anak untuk bermain hujan, itu ulah drainase bukan salah bumi.
Titan: Orang-orang seperti Hasan, Sutardji dan Hasan tahu betul hubungan antar kata, dan ku pikir ini adalah salah satu perbedaan penyair dengan orang biasa dalam memandang bahasa. Bagi saya ini pembacaan yang menarik sekali ternyata seorang penyair harus-harus-harus sekali membaca penyair sebelumnya, kalau dia ingin “terobosan” atau ingin semacam eksperimen.
Juhendri: Bahasan pak Ber sudah komprehensif. Izinkan pak, aku menyisipkan dari yang sudah bapak sampaikan. Kendala bahasa, mau tidak mau dalam buku puisi ini kita temukan satu kecakapan dan kecerdasan penyair. Bahwa bahasa itu adalah alat. Jembatan realitas dengan imajinasi yang penulis. Kecerdasan bahasa dan Kecerdasan Ekologi merupakan dua realitas yang di miliki oleh penyair. Dalam Aspek Verbalnya, kita bertanya “apa yang sebenarnya Hasan lakukan?” adanya abu-aba yang bisa berasal abu-abu dan aba-aba. Tidak hanya menyandingkan tapi meleburkan: menciptakan idiom baru, gotong royong menjadi gorong royong. Inilah kecerdasan idiometikal. Teori pelesapan itu luar biasa yang Hasan punya. Hasan sedang memberontak dari kekakuan bahasa Indonesia. Peleburan yang paling menarik adalah Hujanuari. Kalau orang dulu suka pakai Seharlam (sehari semalam). Ini bagian dari kecakapan kebahasa atau lisensi puitika. Aku tidak menemukan pengulangan kata murni.
Kelebihan pengarang adalah mampu memersonifikasi kata. Dan Hujan adalah bagian darinya. Membicarakan hujan sebagai sosok manusia atau kebalikannya. Inilah kehebatan penyair. Di awal, kita lihat buku puisi ini diawali dengan penciptaan dan diakhiri dengan Sakaratul Sebulir Hujan. Badan buku puisi ini seperti amalan-amalan yang dilakukan hujan. Dari awal sampai akhir ada pengetahuan, menggugah kognitif kita. Di Chairil ada punya menghawa dendam. Tapi yang lebih saya tertariknya lagi, berani menggunakan elemen tanpa imbuhan. Kata idiom ada menggunakan tanda hubung untuk meniadakan keklisean, mematikan kata lama dengan mengganti yang baru, boleh jadi gotong royong yang menjadi gorong royong menjawab bahasa yang sudah di perkosa oleh politik. Pada narasi penceritaan, buku ini terasa lemah disampingkan oleh pertanyaan filosofis.
Titan: Kalau Anda mendengar lagu Bernadya atau Payung Teduh, tadi paman Ju menjelaskan kerja editor yang menyusun cerita dengan sangat apik, saya pikir PR penyair bukan hanya itu juga, tapi bagaimana bukan hanya menulis buku atau mengumpulkan karya-karya, tapi ia sedang menurunkan atau semacam memberikan sikap terhadap apa yang ia lihat dengan sangat matang. Juga seperti pameran tunggal, kalau Hasan membuat pameran hujan, tidak mungkin ada di dalamnya gempa atau longsor, itu mungkin efek dari hujan iya. Itu satu hal yang menarik yang di singgung oleh Paman Ju.
Yang Kedua, ini pertanyaan untuk kedua narasumber.Kita semua tahu kalau kia kehujanan kita merasa puitis, ada penyair asal solo yang menulis Hujan bulan Juni. Bagaimana posisi hujan dalam buku ini? Walau tadi sudah sedikit disampaikan, hujan sebagai subjek bukan sebagai objek, bukan sebagai objek yang ditindak lanjuti tapi sebagai subjek yang berbicara. Saya merasa Hasan mengambil celah dari penyair Indonesia yang ingin hujan di perkosa habis dalam teks, sampai-sampai hujan tidak bisa ngomong, nah ini kecurigaan saya. Sampai-sampai Hujan yang ngomong, bukan penyair yang berbicara, karena subjek Aku di dalam buku ini sangat minim. Dan ini menarik bahwa puisi-puisi di isi dengan puisi lirik. Saya merasa Hujan sampai tidak bisa berbicara.
Pak Bersihar: Hujan sebagai subjek, tentu menarik. Sapardi juga dalam sajak Hujan. Jadi Hujan menjadi berbicara kepada manusia dan kehidupan, bukan hanya sebagai kesan, tapi hujan juga menjawab manusia. Inilah kepiawaian penyair. Barangkali romantisme Hujan akan muncul, juga ada banyak pelajaran yang bisa di ambil dari subjek hujan. Tidak di perlakukan sebagai benda belaka, tapi ia seperti manusia yang bisa di ajak bicara. Dan ini sudah dari dulu manusia memang dikenalkan pada benda.
Juhe: Ungkapan seorang penyair, ketika ia menghidupkan satu unsur, inilah kelebihan penyair. Daya personifikasi dalam buku ini bisa saling bertukar seiring waktu. Bagaimana bahasa bisa menghidupkan dan mematikan. Inilah penyair sampai bisa dibilang sebagai penyihir. Inilah dulu kebiasaan kepenyairan ini. Bahwa ada mantra. Bahwa dulu bahasa melekat pada realitas, makanya bahasa melekat pada masyarakat, misal bahasa kutuk jadi batu maka dahulu orang percaya. Namun sekarang bahasa dan realitas telah berjarak. Kalau dulu tidak. Tingkat tertingginya ada pada bahasa firman adalah Kun Fayakun, jadi maka terjadilah. Jadi, pengulangan hujan menjadi menarik bagi penyair karena hubungan antara bahasa dan realitas . Penyair merenungi hujan sebagai sosok manusia sampai fungsinya, saya curiga, penyair sudah di ranah spiritualitas. Ada upaya kontemplatif, tidak bersifat improvisasi saja, seperti puisi ungkapan arab yang penuh personifikasi.
Titan: Saya ingin tahu posisi Hasan dalam skena Sastra Medan?
Juhe: Hasan bisa saja telah menyumbang substansi bahasa lewat buku puisi Jenis-Genius Hujan. Apa yang dilakukan Balai pada Kata Baku dan non baku sebaiknya dijelaskan penempatan kalimatnya, bukan malah benar salahnya. Kata Anda itu ditemukan oleh tentara, kata Dangdut dahulu adalah orkestra.
Pak Bersihar: Kamus itu membakukan, kalau keluar dari yang baku maka ia menjadi salah. Kamus itu membekukan, kalau keluar dari yang beku, berarti liar. Jadi begitulah kamus itu menjadi semacam diktator bahasa. Dia mengendalikan makna: harus begini jangan begitu. Sampai kalau kita mendengar para pejabat pidato, kita jengkel, kita menolak, kita protes, misal, dia bilang bahwa di masa pembangunan ini pemuda harus berperang, padahal harusnya bagaimana peran negara kepada pemuda. Ini menjadi rancu. Boleh jadi inilah protes Hasan. Kalau tidak salah, Hasan menambah konversi kata kita. Memunculkan logika-logika baru. Hasan telah membunuh kata tapi kemudian memberi nyawa, reinkarnasi kehidupan kata.
Hasan dan penulis dahulu di Medan telah berbeda, kepadatan dan gaya gugah sudah berbeda. Meskipun begitu, keduanya berhak dikatakan sebagai anak kandung. Saya teringat Sutardji dalam puisinya yang mengandaikan dirinya sebagai Nuh yang rindu kepada tanah. Apa yang di lakukan oleh Puisi jadi tidak stagnan.

Titan: 2016 Afrizal pernah bilang kalau kita tidak tahu asal kata yang kita pakai. Itulah Kamus tugasnya mencatat saja.
Hasan Berkata: Bahasa dan kata akan ada sampai kita tiada.