NGOBROL BUKU TELEPON GENGGAM | JOKO PINURBO | KBSI

Avatar photo
Reading Time: 3 minutes

BAHASAHATI.COM, MEDAN – “Kalau kita membaca puisi Indonesia kita sedang membaca sejarah  sastra Indonesia. Ketika penyairnya sudah tidak ada, kita bisa mengerti apa yang telah dikerjakannya.” ungkap Titan Sadewo, seorang penulis dan guru ketika ditanya oleh Juhendri Chaniago sebagai moderator pada kegiatan Ngobrol Buku bekerja sama dengan Keluarga Bahasa dan Sastra Indonesia USU (KBSI) Sabtu, 28 Jumadilawal 1446 H / 30 November 2024 M  bertempat Taman Belakang Perpustakaan USU Jl. Perpustakaan No. 1, Padang Bulan, Kec. Medan Baru, Kota Medan, Sumatera Utara 20155.

Moderator Juhendri Chaniago

Juhendri:

Sepanjang pembacaan Titan, tema yang sangat terasa dalam buku ini sebetulnya yang penyair ingin sampaikan?

Narasumber Titan Sadewo

Titan:

Saya sebenarnya tidak akan membahas sangat detail dan meminta teman-teman untuk turut ikut mendiskusikan.

Eksistensi manusia dan manusia modernitas. Saya cukup takut, salah dua penyair yang saya baca saat remaja dulu. Bukunya Selamat menunaikan Ibadah Puisi judul buku ini mengganggu pikiran remaja saya 2017-an. Ada buku Konstruksi Tubuh Joko Pinurbo (alias Jokpin) ia membicarakan posisi tubuh (puisi) Joko Pinurbo. Saya menyiapkan catatan lebar. Nanti kita ceritakan.

Beberapa puisi ini kan tidak hanya sekadar bicara tubuh saja, ada permainan personifikasi, misal pada kata “sepi”. Bagaimana Titan melihat tema yang besar ini, lalu di rangkum dalam sebuah bahasa. Sehingga pembaca tidak perlu mengerutkan kening. Dari aspek bahasa?

Saya akan melanjutkan bahasa Paman tentang seakan-akan pembaca dibacakan puisi di hadapannya. Ini sama-sama A.A Mansyur. Tentang Kelisanan: pada Jokpin menggunakan kata “enggak, eh, yuk” yang mendekatkan pembaca. Fisik dan Psikis, gawai menyatu dalam tubuh seakan menyatu dalam nadi. Jokpin sangat visioner secara tidak langsung, seakan terlalu banyak pakai gawai bisa merusak mental. Di Eropa, ada seorang anak bunuh diri sehabis buat karakter AI, karena ia mengatakan akan menemui karakter itu, Ibunya kini menggugat ke pengadilan bahwa AI itu menyeramkan.  Surga menjadi kata sifat dalam buku ini. Puisi ini ditulis pada 2003-an, membuat kira nostalgia, sampai saya yang mencari tahu tentang ikan pari anak durhaka yang ternyata adalah hoaks. Sepi yang menjadi subjek, Jokpin banyak menggunakan objek sebagai subjek. Ini pula yang dilakukan oleh Sapardi Djoko Damono. Seperti judul, foto dan sepi. Puisi buku ini bersifat naratif, Jokpin penyair yang cerdas karena tahu zaman, ketika di awal twiter. Nirwan Dewanto: penyair ini antipode pada puisi lirik. Ketika kita merasa puisi Jokpin seaakan mudah di tulis, ini artinya penyair memiliki craftsmantship. Bedanya Jokpin dengan Sapardi, jokpin tidak terlalu menggunakan alam tapi hanya di sekitarnya yang ibarat tidak mungkin jadi puisi.

Apakah ada temuan lain selain Sapardi?

Ada, Budi Darma, bisa dilihat perihal keabsurdan, ini pengakuan penyairnya. Ada pertanyaan yang menarik, pembaca Indonesia memungkinkan kalau penulisnya berbeda agama dengannya, ia tak mau membacanya, dan saya tidak menganut hal ini. Ada juga nama seperti Beet Hoven dan The Beatles. Ada nama kiasan yaitu Alusi. Jokpin mengatakan boleh memasukkan unsur-unsur yang tidak puisi. Ada Buku Life Online oleh Nicola Morgan untuk membantu apakah kita kecanduan gawai. Kalau kita membaca puisi Indonesia kita sedang membaca sejarah  sastra Indonesia. Ketika penyairnya sudah tidak ada, kita bisa mengerti apa yang telah dikerjakannya.

 

Tadi sudah disinggung pengaruh konteks luar, hasil karya penyair itu ibarat gunung es. Terkait persoalan bentuk, gaya bahasanya, ada yang mengatakan bahwa puisi adalah inti filsafat (pemadatan pemikiran), bagaimana dengan buku ini?

Ada Metafora yang langsung di bandingkan, ada pula simile. Tadi sudah saya jelaskan soal Alusi: mengaitkan satu hal dengan satu hal lain dengan bukan metafora, misal perasaan yang diwakili Payung  Teduh. Bentuk itu menggambarkan isi. Kalau teman-teman baru mengenal puisi dan bertemu di awal dengan Joko Pinurbo ini sebetulnya bahaya. Anda merasa puisi ini mudah dibuat yang padahal ada banyak faktor pertimbangan selama menulisnya. Namun, kita bisa membaca sejarah sastra Indonesia saat membaca Jokpin. Ia mengaku membaca banyak puisi penyair Indonesia terdahulu.