Sejak melabeli dirinya sebagai penulis, ada satu kejanggalan yang mengganggu pikiran Banda Baskara. Dalam literasi agamanya, diberitakan bahwa nanti saat manusia dikumpulkan di padang mahsyar, akan diserahkan sebuah buku catatan amal selama hidup didunia.
Bagi mereka yang menerima buku itu dari sebelah sisi kirinya, bersedihlah ia bahwa itu pertanda hal buruk akan mendapatinya segera. Sedangkan mereka yang menerima buku itu dari sisi sebelah kanannya, maka berbahagialah ia bahwa itu pertanda kebaikan yang dijanjikan segera hadir untuknya.
Adalah buku, yang menjadi kekhawatirannya akhir-akhir ini. Ia berkesimpulan bahwa setiap manusia terlahir menjadi seorang penulis. Setidaknya manusia menerbitkan satu buku berjudul catatan amal si Anu.
Hingga ia mengetahui bahwa akan dipersaksikan kepada dirinya semua yang ia telah lakukan selama hidup di dunia. Bukan mulut yang berbicara, namun tangan, kaki, atau setiap hal yang ia miliki akan memberi kesaksian untuk dirinya. Ketakutan muncul seketika, ia bertanya, akan semalu apa dirinya nanti. Apakah hanya ia yang akan menyaksikan isi dari buku tersebut? atau akan diperlihatkan kepada semua makhluk-Nya? Namun jawaban semacam siasat hadir juga seketika, ia yakin bahwa orang lain tidak akan peduli dengan dirinya. Teringat ia bahwa nanti semua orang tak lagi memikirkan selain dirinya. Sekalipun seorang Ibu kepada anaknya. Terutama sebuah fakta kebangkitan manusia nantinya tak lagi memakai busana. Ketakutan atas nasib masing-masing meniadakan nafsu untuk saling menikmati tubuh orang lain.
Ia menemukan sebuah fakta, bahwa pembacaan buku tersebut dilakukan saat manusia telah habis masa aktif di dunia. Sehingga ia berkesimpulan, bahwa tulisan yang terbit memastikan penulis telah menemui kematiannya. Dalam arti kata, tiada kemampuan si penulis untuk memperbaiki isi tulisannya. Nasi sudah terlanjur jadi bubur.
Namun ia bersyukur bahwa kini dirinya belum mati. Ia ingat bahwa banyak penulis yang menyesali tulisannya nanti di padang mahsyar. Diantara revisi yang diajukan kepada Tuhannya ialah meminta kesempatan untuk dikembalikan ke dunia untuk berbuat kebaikan; bersedekah, tidak melakukan hal-hal yang memperolok agama-Nya, dan bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa. Semua tertulis di dalam firman-Nya. Kembali ia mensyukuri apa yang telah dipelajarinya.
Buku pertamanya, bersyukur ia tidak menuliskan aneh-aneh, sekalipun berhubungan dengan masa lalu yang kelam, kini bukan hanya penyesalan tanpa arti, tapi sebuah pembelajaran agar ia tak mengulangi kesalahan yang sama. Setidaknya itu untuknya sendiri, tak mengerti ia dengan kesimpulan orang-orang yang telah membaca bukunya. Beberapa menyebutkan ada kisah yang relevan dengannya, bait yang membuatnya bersedih, bait yang membuatnya menuduh diriku macam-macam, sampai seorang bapak tua yang tak memberikan komentar apa-apa setelah membacanya dalam sekali duduk di hadapannya.
Kini ia masih belum menerbitkan buku keduanya. Ia masih sibuk menuliskan kisah indah yang akan ia terbitkan sewaktu nanti di padang mahsyar. “Halo diriku yang menonton diriku, sudah aku usahakan agar dirimu tidak malu melihat masa lalu. Setidaknya kesadaran ini menjadi hiburanmu, jikalau nanti, masa depan tak sesuai harapan kita. Semoga kamu tidak menerima buku catatan amal dari sisi sebelah kiri, salam hangat dariku dimasa kini. Wallahu a’lam, wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh” tutur Banda Baskara kepada langit kala itu.
Deli Serdang, Zulhijjah 1444 H