Setengah Hati, Sia-sia.

Avatar photo
Reading Time: 2 minutes

Prolog: Dibilang berhasil, mungkin tidak. Dibilang gagal, mungkin iya.


Entah bagaimana caraku untuk mendeskripsikan pikiran dan perasaan yang telah aku lalui pada hari-hari pekan ini.

Rasa-rasanya, algoritma kehidupa­­n—qadha dan qadar Allah Ta’ala—bekerja dengan sangat penuh ketelitian serta ketegasan terhadap apa saja yang telah aku lakukan.

Entah karena arti namaku—cahaya kebenaran—tidak memberiku kesempatan untuk melakukan apa-apa yang tidak sesuai dengan kehendakNya. Sekalinya melanggar, diriku bertubi-tubi dihantam kesadaran yang entah darimana datangnya menjelaskan bahwa aku telah melakukan kesalahan.

Begitulah adanya, bisa jadi nama yang melekat pada diri seorang manusia, menjadi doa dan jalan takdir hidupnya. Mungkin ini hikmah dari ibadah akikah yang telah menjadi syariatNya.

Tentu bagi kamu yang tidak mengerti arti nama yang melekat atau memang tidak ada makna dari nama tersebut, tidak perlu sampai mengganti nama. Sebagaimana yang dicontohkan oleh orang-orang terdahulu, selama nama yang melekat tidak terdapat kata negatif tentu tidak perlu ada perubahan. Seperti kata yang mengandung kesyirikan, kebatilan, apapun yang tidak menentang ketetapanNya semua diperbolehkan.

Oke, aku sudahi dahulu penjelasan mengenai hubungan nama dan jalan takdir, aku akan bahas dikesempatan lain. Mari kembali kepada bahan evalusi kita pekan ini.

Jangan pernah melakukan apapun dengan setengah-setengah.

Dee Lestari—seorang penulis cerpen “Filosofi Kopi”—dalam sebuah podcast menjelaskan bahwa dia pernah menjadi  juri dalam sebuah perlombaan menulis novel. Lalu didapati satu novel yang sangat menarik perhatiannya, namun sayang, dia tidak mendapatkan akhir cerita novel tersebut, karena penulis tidak menyelesaikan naskahnya. Dee berkata bahwa tidak mungkin bisa menilai karya yang tidak selesai, itu belum menjadi satu kesatuan yang dapat dikatakan sebagai karya tulis.

Dalam hematku, kemunculan perbuatan setengah-setengah ini lahir dari ketakutan mendapatkan hasil yang buruk, tidak sesuai ekspetasi, dan penilaian yang sinis.

Selain dari itu, penyebab lainya adalah tidak adanya kepercayaan atas kemampuan diri sendiri. Merasa diri bodoh itu baik jika dalam belajar, karena jika merasa pintar maka kamu tidak akan merasa butuh mendapat ilmu atau belajar lagi. Bukan makna ini yang aku masud. Tetapi, tidak adanya keberanian untuk memulai melakukannya. Yang padahal, kamu sendiri tidak tahu bagaimana nanti hasilnya, bukan?

Ketahuilah!

Bahwa keberanian datang kepada mereka yang tidak takut gagal. Kalaupun  gagal, bagi mereka itu hanyalah sebuah kejadian yang telah lalu dan tidak akan bisa dia ubah. Maka baginya yang terbaik adalah menganalisa kesalahan guna menjadi bahan evaluasi agar kedepannya tidak melakukan kesalahan yang sama.

Jangan sampai salah fokus!

Masa lalu biarlah berlalu, fokuslah pada hari ini, yang kamu bisa jalani dan hadapi, lalu biarlah masa depan bergulir tanpa perlu kamu takutkan karena tidak ada kepastian bagaimana dan apa yang akan terjadi.

Akan tetapi, hidup adalah sebuah pilihan.

Yang terjadi hari ini adalah akibat-akibat dari perbuatan di masa lalu. Dan yang terjadi hari esok, adalah sebab-sebab  dari perbuatan hari ini. Tentunya semua ini tidak terlepas dari kuasa Allah Ta’ala.

Sekali lagi aku katakan kepada kita semuanya.

Jangan salah fokus!

Semoga Allah menerima semua amalan yang telah kita lakukan pada pekan ini serta mengampuni segala dosanya juga.

Selamat menjalani hari-hari baru di pekan esok.


Epilog: Perubahan dunia di zaman sekarang begitu cepat dan menyesakkan. Maka jangan sampai salah fokus!