BAHASAHATI.COM, MEDAN – “Tidak ada karya yang lahir tanpa riset” kata Okky Madasari, seorang penulis novelis & sosiologis asal Magetan sekaligus membangun media Omong-Omong.com yang aktif sebagai jembatan tulisan para penulis. Bersama Ngobrol Buku, Titan Sadewo memantik obrolan santai terhadap proses kreatif membaca dan menulis Okky Madasari pada Ahad, 17 Rabiulakhir 1446 H / 20 Oktober 2024 M bertempat Kede Buku Obelia Jl. Amaliun No. 152, Medan.
(Titan) Okky Madasari, lahir pada tahun 1984, menulis tema perlawanan untuk kebebasan dan perjuangan masyarakat. Cerita dong masa kecil Mbak Okky di Magetan?
(Okky) Magetan itu kabupaten kecil, 2 jam dari Solo, sebagai kabupaten kecil saya akses dengan toko buku yang tidak layak. Jadi, ini murni rasa kaingin tahuan, tapi jelas tidak di dukung akses buku. Ini hal yang tidak boleh di biarkan. Jawa sentris literasi memberikan kesenjangan akses Pendidikan. Inilah jadinya darurat literasi. Kini ada wapres yang mengatakan tidak punya kebiasaan baca buku. Ini sebenarnya jadi cerminan rakyat dari pemimpinannya. Kalau sekarang kita berkumpul disini, ini kan karena panggilan diri dan Upaya Ngobrol Buku. Roda literasi Indonesia di gerakkan oleh inisiatif rakyat.
Mbak Okky, sebagai anak desa dari Magetan, melihat kota besar bagaimana melihat pekembangan di sana?
Saya anak desa yang tidak tumbuh dengan buku berkualitas dan akses yang baik. Ketika saya ke Jogja saya bertemu kemungkinan baru. Ini sungguh nyata. Berkesempatan membaca dan bertemu orang baru akan memberikan kesempatan imajinasi itu muncul. Dahulu, imajinasi kita dibentuk oleh siaran khusus TV yang menceritakan soal Soeharto. Nah, ketika saya ke Jakarta, hubungan kesempatan membaca dan kemampuan finansial, saya kerja dan saya punya akselerasi baca buku. Dalam 3 tahun saya sudah merasa pantas bisa menulis novel, Entrok (sampai tidak mampu beli BH) itu ditulis 3 bulan. Semakin banyak diskusi, kisah hidup nenek saya yang tidak mampu, yang sebenarnya bukan membicarakan itu namun ketimpangan hidup miskinlah yang saya bicarakan. Pindah ke Singapura, saya sudah menerbitkan 8 novel, saya punya kesadaran kritis, maka studi saya di Singapura adalah studi kritis, dominasi westernisasi. Kalau saya tidak punya ini, mungkin saya akan buat tulisan bagaimana bisa pergi ke sana dengan uang 50 juta, atau hanya memotivasi dapat beasiswa luar negeri.
Saya lahir 1999, saya pingin tahu, buku-buku apa saja yang Mbak kala itu baca?
Karena era itu, Mirawe dan Marga.T kisah fiksinya banyak dokter, cerita mereka memotret Jakarta dan sibuk pada percintaan dan sekolah serta cita-cita, kehidupan kelas menengah. Dalam masa orde baru, buku pram tidak bisa dibaca, pemerintah yang menentukan buku yang beredar. Akhirnya karena itu buku mirawe dan marga t itu beredar luas. Dalam situasi kebebasan ekspresi dibatasi, maka karya yang apolitis dan imajinasi palsu yang hadir. Meninabobokkan rakyat. Gak ada diceritakan bahwa cerita orang gagal datang ke Jakarta. Itulah yang membangun saya. Saya banyak baca buku non fiksi. Apa yang kita baca pada suatu masa, itu akan terkait pad asosial terkait pada setiap era.
Entrok itu adalah buku luring pertama yang di bahas kala 2021 di Ngobrol Buku. Itu pegalaman jauh, bagaimana riset pustaka Okky mandasari?
Tidak ada karya yang lahir tanpa riset. Untuk Entrok saya banyak membaca sejarah, nenek saya, lintas yang mau saya hidupkan dari orde lama sampai orde baru, saya pun mencari buku sejarah MC. Rickrefls (buku sejarah terbaik) Australia. Lalu ketika saya mau menggambarkan kehidupan RW, ada buku di tulis orang arsitektur, tapi karena saya tertarik untuk membacanya karena kenapa ada gardu. Bukan hanya di copy tapi masih diolah jadi cerita. Lalu interview (seni memahami manusia). Kita mencoba berempati pada karakter yang di bangun, kita melihat karakter manusia sekitar kita. Mata itu kan novel yang saya ingin bisa dibaca anak-anak. Saya datang ke Daerah langsung. Tapi bukan hanya itu (keindahan pariwisata) maka kita haru menggali lapis-lapis kehidupan.
Saya bilang sama editor Omong-Omong.com tidak ada website yang khusus menerbitkan karya anak-anak. Bagaimana dengan lahirnya Omong-Omong.com?
Itu kesadaran saya untuk menghadirkan jembatan karya kita. Konsepnya adalah laboratorium bersama. Apa pun idenya segila apa pun, kalau pun tulisan itu dibantah sama orang lain maka kita beri ruang. Sesungguhnya perdebatan tulisan jarang. Yang hadir di Twiter itu hanya kicau kata. Di Tiktok orang tidak ada kesempatan untuk mendebat panjang. Padahal, dari dulu kita digerakkan oleh tulisan. Contohnya polemik kebudayaan. Saya masih sebulan sekali menulis Jawa Pos, saya masih yakin ada yang membaca di sana untuk dijemput. Maka saya manfaatkan kesempatan itu. Mempertemukan ide dengan pembaca. Lalu kemudian, banyak pembaca dan penulis omong-omong punya pengaruh dan menjadi awal mereka menulis. Saya cukup bahagia.
Mbak Okky banyak menulis puisi di IG. Bagaimana fungsi estetika dalam sastra?
Saya penulis fiksi, novel ini sangat personal, dan memang pertaruhannya agak sepenuh kehidupan, saya butuh komitmen besar untuk menghabiskan waktu berbulan-bulan. Yang jelas saya menyuarakan masyarakat. Saya menulis esai sudah dari lama, SMP saya menulis perlukah setiap anak ikut les tambahan. Keduanya masih konsisten. Dua hal ini saling dibutuhkan dan mempengaruhi tapi bekerja dengan cara yang berbeda. Fiksi sebuah karya yang bekerja dalam jangka panjang, ia secara pelan, tapi ia tetap hadir lama. Sebaliknya pada esai. Dua-duanya harus terus ditulis. Di Jawa pos 2010. Yang terbaru adalah Lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Saya cukup telah mempelajari bagaimana menulis opini yang bisa dipahami oleh semua orang dan memikat semua orang betapa pun beratnya bahasan itu. Tulisan saya tidak ada di edit di Jawa Pos.
Bagaimana dengan kelas menulis Anda? Bakat alami yang melimpah tapi intelektual yang berbeda.
Kesempatan untuk belajar, itu membantu untuk membuka potensi diri kita. Kata kuncinya pada ‘kesempatan’. Kelas-kelas saya tidak ada motivasi menulis tapi langsung praktik menulis. Sehingga kita tahu kesalahan kita. Sebenarnya saya punya jalan ini karena saya mengalami. Ketika dulu jadi wartawan, belajar kepada Ashadi Siregar menulis berita, dari mahasiswa HI yang nol, tapi dengan sentuhan pelatihan itu membuka potensi yang kita tak tahu. jadi tahu potensi dan bisa menggunakan dan memanfaatkannya. Buku 86 di hubungi oleh Jokpin karena senang. Ia memancing saya untuk menulis puisi. Ia bilang coba saja. Saya belum tahu puisi seperti apa. Mas Jokpin memberikan kunci untuk saya menulis puisi. Jadi puisi saya, gurunya adalah Jokpin, tapi saya memang belum serius, karena puisi saya adalah respons buat sesuatu. Belum saya buat proyek puisi. Hanya kebutuhan dan merespons kondisi.
Negara Australia sudah menerapkan AI untuk skripsinya. Bagaimana AI dan karya sastra?
Kita harus akui itu, persoalan hak cipta, terutama gambar, ini memungkinkan kerja manusia terebut. Kita tidak mungkin menolak. Kita tahu apa keunggulan, masalah yang menyelubunginya. Baru bulan lalu saya jadi juri menulis puisi di Singapura dan ada yang ketahuan pakai AI dan diulang lagi. Karena realita itu, saya merintis, kami bikin AIAI sebagai upaya pusat belajar untuk AI dalam segala bidang. Saya tahu banyak yang tidak tahu cara pakainya dan hanya menghasilkan karya yang tidak kreatif. Saya pun buka kelas yang dari awal sudah punya kritis dan basic writing. Kalau menolak, kita akan tersingkir. Ingat tidak kamera digital membuat kamera analog marah-marah.
Pertanyaan peserta:
Hasan: kita berjumpa 13 tahun lalu di Salihara. Saya tertarik untuk meyakinkan kita, sumbar, kalau tidak ke Jakarta tidak sah jadi penulis. Pada titik tertentu saya juga mengalami ancaman itu. Dititik mana mbak okky semua yang punya hati berhak untuk bisa menulis? Saya merasa, ada Imam sesat, kawan-kawan punya tidak punya kepercayaan diri yang saya yakin tidak terjangkau pusat.
Sumut, pernah jadi pusat sastra. Sejarah karya sastra pertama melayu dari Barus. Hamzah, Chairil Anwar, Buya Hamka (merantau ke Deli). Jadi ini pusat sastra. Lalu kenapa jadi rendah diri? Ini berarti akarnya harus kita cari tahu. orde baru itulah yang membuat Jawa sentris. (Ika Natasya, imajinasinya.) tentu ini proses yang tidak cepat. Rintisan Ngobrol Buku ini adalah upaya memutus rantai dan berpura-pura jadi orang Jakarta agar karya kita disukai. Kaisar DM sebagai penulis cerpen yang saya bantu besarkan.
Andi: kita tahu bahwa sastrawan itu orang yang visioner. Apakah visi sastra kita dahulu visinya terwujud dan bagaimana visi sastrawan sekarang?
Karena yang ditulis di masa lalu tapi masih relevan. Sifat karya sastra itu kan untuk dominasi (kebanyakan orang menerima itu dan merasa itu yang benar) kita bisa melihat yang tidak mampu dilihat orang lain.
Kina: Saya lahir dari keluarga yang tidak dekat dengan buku. Di SMA barulah saya dekat dengan buku ketika bersekolah di Kota. Ketika melihat ke kampung, ada ketimpangan. Apakah ada upaya represif karena menulis politis?
Saya cukup sering diminta menjadi mentor dari kelompok marjinal dan buruh untuk menulis. justru karena ia kerja di pabrik punya kedekatan yang lebih. Saya ada contoh dari Masayu Masruroh, ia melihat anak pemilik pesantren sidikiah jombang melakukan kekerasan seksual. Ia datang ke saya dan bantu untuk menuliskannya. Kalau soal ancaman ada la bentuknya macam-macam, saya ada buat diskusi 2016 asean fest literasi diminta dibubarkan. Kalau disosial media itu sudah sehari-hari.
Neo Orba itu apa mba? (Titan) itu artinya Orba masih hidup dan tidak benar-benar mati.
Hakiki: ada tidak contoh kongkret satu negara yang hancur karena tidak baca buku, dan ada tidak itu hadir dinegara kita? Bagaimana kita menyikapi atau melawan bahwa membaca hal buku itu hal yang tidak biasa?
Saya balik dulu jawaban saya, kalau bicara negara modern, tidak ada negara besar yang pemimpinnya tidak baca buku. Pemimpin otoriter, adalah pembaca buku penulis buku dan melarang buku. Kalau seseorang mau jadi pemimpin haruslah baca buku. Kita lihat para pemimpin raja nusantara ini hancur karena intelektual.
Kita memang darurat literasi. Saya banyak menyinggung politik walau bukan hanya seperti itu. Adanya gejala buku dianggap tidak penting. Sejauh ini, ada pemimpin yang (satu ini) mengakui tidak baca buku.
Novelina Butar-butar: saya seorang guru, saya punya banyak keresahan saat berhadapan dengan murid, banyak murid yang sulit menangkap informasi. Bagaimana solusi?
Jernih: Bagaimana menyikapi bahwa AI itu masalah atau solusi atau cara kita yang salah untuk bertanya? Cara kita bertanya sepertinya ada yang salah. Apakah budaya membaca kita, buku self improvement dan buku AU yang laku, menggambarkan kondisi budaya kita?
Orang yang punya critical thingking, karyanya punya loncatan. Ini tidak bisa digantikan AI. Kalau kita tidak bisa menggunakannya. Coba cek e-book di webku. Novel Islami dominan di pasaran (kala itu). Buku yang kamu bilang itu mirip dengan kondisi hari ini.
Peserta: Bagaimana mbak cara mbak menulis?
Seberapat berat cerita itu, prinsip story telling itu dihantarkan.jangan narator yang berbicara, kalau begitu tulis essai saja.
Juhe: 3 kesadaran; kritis, realitas imajinatif, kesadaran teknologi AI. Socrates bilang bkan soal pertanayaan tapi pengetahuan kita terhadap pertanyaan. Andai kata, menteri kebudayaan, mbak okky diminta datang untuk jumpa datang menteri tersebut, ide apa yang mbak sampaikan untuk kemajuan?
Kebudayaan itu bukanlah hiasan saja, tapi membangun kritikal thingking. Kebudayaan kita harus mampu mlahirkan manusia yang kritis dan inovatif. Kalau penulis muda meninggalkan menulis, kita kehilangan pikiran-pikiran kreatif. Lalu, saya ingin mmebuat lebih realitas juga kalau kebudayan itu tidak jadi beban semata. Bukan clarity saja. Itu adalah aset bukan beban. Ini investasi. Dua ini.
Nawir: Proses kreatif menulis puisi saat merespon kejadian?
Pertama syaa menulsi singkat, cepat bukan jatuh adri langit, proses di upayakan itu abenar adanya. Ada ide yang menggelitik dan merisaukan saya. Saya tulis, sebelum itu saya rombak terus, saya buat di canva, saat mauh di upload ada juga mau mengganti. Iru memamng cepat dalam satu waktu. Sekarang ini puisi dalam proses refponsif.
Andi: Terkait AI, saya merekomendasi buku Dan brown Digital Fortress dan Origin, kedua buku ini meramalkan masa depan AI.
Kita butuh Kanon Sastra? (Titan)
Saya tidak pernah percaya kita butuh itu. Kalau arah pertanyaan kamu mengarah kepada kurikulum kemarin, cara kerja kemarin itu hanya bagaimana cara agar sastra masuk ke sekolah. Kita butuh SK agar itu menjadi alat bantu. Secara general, saya selalu mempertanyakan dan urgen bahwa kita perlu memperkenalkan karya sastra.