BAHASAHATI.COM, MEDAN – “Saya tinggal bersama nenek dan ia suka bercerita, saat ia meninggal di umur saya 9 tahun, saya cukup kehilangan sosoknya yang suka bercerita, dan buku menjadi obat kehilangan itu.” ungkap Jernih Maipah Siregar, seorang penulis, copywriter, pegiat literasi dan pekerja digital ketika ditanya oleh Hasan Al Banna sebagai moderator pada Ahad, 08 Jumadilawal 1446 H / 10 November 2024 M bertempat Kede Buku Obelia Jl. Amaliun No. 152, Medan.
Beliau ini adalah pembaca khusyuk, pekerja digital, beliau ini boru Regar yang setahu saya lisannya lebih jauh dari pikirannya. Saya kenal kakak orang kampung. Pertanyaan wajib saya, sebagai orang kampung, kak Jernih mendapat peristiwa membaca dan terlibat masuk ke lautan teks, dari mana kakak memulainya? Apakah lingkungan kampung atau keluarga atau bukan kedua ini?
Selamat sore, saya Jenih, pengalaman membaca ini bukan dari keduanya. Sekolah saja tidak ada perpustakaan. Sampai sekarang sudah kurikulum merdeka di sekolah tetap masih begitu saja. Saya bersekolah di Kabupaten Labuhanbatu Selatan desa Batang Nadengan (sungai yang baik hati). Ayah saya bongkar loteng dan ternyata menyimpan buku, sepertinya peninggalan nenek. Saya menyimpan buku-buku darinya. Ibu lumayan keras untuk mendidik saya agar banyak belajar daripada bermain. Saya bermain dengan buku-buku itu saat saya kelas 3 SD. Kakak saya dikirimkan ke Medan saat setelah SMP. Saat kakak pulang saya minta dibelikan buku-buku salah satunya buku RPUL, karena bagi saya itu punya orang kaya.
Inilah yang saya ingin ketahui bahwa pasti ada momentum, bagaimana kita punya suka buku. Tapi apakah kakak punya jawaban kalau ditanya kenapa suka buku?
Saya tinggal nenek dan ia suka bercerita, saat ia meninggal di umur saya 9 tahun, saya cukup kehilangan sosoknya yang suka bercerita, dan buku menjadi obat kehilangan itu.
Ini bukti bahwa kak Jernih merasa ia tekun mendengar cerita sang nenek, dan kehilangan itu digantikan dengan teks. Empat hal yang diberikan Tuhan: menyimak, membicarakan, membaca, dan menulis adalah bagian yang patut disyukuri bilamana hadir dalam hidup kita.
Dari umur 9 tahun, apakah sampai kakak punya progres atau pikiran bahwa membaca adalah kebutuhan?
Di titik SMA, saya ketemu komunitas sastra, saya sekolah di Al Washliyah 22 Tembung. Saya berguru kepada Kak Mawardah yang memperkenalkan sastra.
Setidaknya saya merasa bahwa ayo kita bersama-sama untuk jangan sampai anak kita menunggu keberuntungan. Berceritalah kepada anak-anak kita. Agar kelak di Cakap Asyik 2055, narasumber-narasumber kita menceritakan bahwa pendahulu mereka dekat dengan literasi.
Adakah memproduksi teks? Dan apa perasaan kakak kala itu?
Waktu SMA cukup sering menulis, pertama saya menulis artikel, ikut lomba FOKUS UMSU dan kebetulan menang, lalu tering terbit dari menulis di analisa, dari uangnya saya gunakan membeli buku. Pertama kali puisi saya terbit di analisa, saya dapat 100 ribu, dan saya yakin inilah lubang duit saya. Lalu saya kirim cerpen ke Waspada.
Tidak banyak orang ketika karya terbit memikirkan bahwa uang dari itu dibelikan buku. Saya pernah sampai habis uang beli buku di Gramedia sampai tak sadar uang habis untuk ongkos pulang.
Saya cari beasiswa ke Jakarta, dan meminta bantuan orang tua untuk ongkos ke sana. Boleh jadi karena covid, teman-teman di sana, menulis itu mulai mereda. Pada saat itu saya menulis puisi dan cerpen tidak menghasilkan, akhirnya saya menulis ke artikel yang lebih menghasilkan karena kebutuhan.
Inilah enaknya dapat pembicara. Kuliah D3 Penerbitan, apakah ini bermanfaat terhadap jurusan kakak?
Masih ada berhubungan dengan buku, tapi lebih kepada marketing-nya.
Peristiwa teks ini apakah manfaat itu memberikan sumbangan yang memudahkan mengurusi perkakas penerbitan ketimbang kawan yang tidak dekat dengan teks?
Ini sangat membantu saya. Agak sedikit jemawa, saat saya sudah masuk di sana, banyak materi yang sudah selesai dan tahu.
Peristiwa ketika dahulu ternyata bermanfaat dan berpotensi untuk mengajak anak-anak sekitar kita. Di Mandalika, anak-anak penjual air kelapa, hanya menerima uang hijau (dua puluh) daripada uang biru.
Saya jarang ketemu orang Sumatera. Tapi ternyata di sana, anak-anak tidak sebaik yang saya bayangkan. Kata teman saya, mungkin karena kamu terlalu maju.
Kemudian kakak kecewa dengan kondisi di sana. Apakah kakak ada sampai pada titik ternyata untuk memberikan?
Iya, saya merasa ternyata sayalah sumurnya. Dan buat komunitas puisi, namun terkendala karena covid. Saya merasa tidak perlu memaksakan, dan mencari sumur yang lain. Saya mengejar bertemu dengan Joko Pinurbo dll.
Pada akhirnya kakak bekerja, saya bilangnya pabrik kopiraiting. Apakah ini melahirkan teks?
Iya, tulisan yang digunakan untuk menjual.
Apakah pengalaman dari bertemu orang ketika di SMA, sampai nyaman bekerja di situ, memberikan kenyamanan?
Saya bilang ke Ibu, kalau ke terima di Jakarta saya menetap di sana, tapi ternyata tidak, walau sempat sih sebentar. Akhirnya saya ke Medan. Kemampuan memecah kasus itu bisa saya selesaikan dari pengalaman masa lalu memberikan sumbangan. Mungkin tidak jadi Jernih yang sekarang.
Itukan kakak kerjanya itu, mungkin ini pikiran orang-orang. Seandainya bukan itu kerjaannya, masih butuh tidak keterampilan itu?
Tentu, saya pernah kerja di event, kemampuan memahami apa yang disampaikan sebagai. Apa pun pekerjaan pasti memerlukan keterampilan teks.
Bagaimana kemudian,
Saya jujur banyak iri dengan kak Eka, pada saat saya lihat teman-teman di Karo mendapat sosok tersebut. Kampung saya 4 jam dari Kota Pinang. Melihat kondisi tersebut membuat saya sedih.
Penutup:
Saya pernah jenuh terhadap teks. Saya sering kangen untuk menulis fiksi yang bagi saya itu merawat pikiran. Saya jenuh pada pekerjaan copywritingnya. Terlalu lama terhadap teks pendek yang harus menjual membuat saya. Orang merasa sastra itu serius.