Prolog: Padahal sifat dunia itu berubah dan melaju, tapi kamu tetap saja menolak perubahan.
Seorang pemuda yang wajahnya bisa dikategorikan sebagai jenis yang kebanyakan bernama Budi melambaikan tangan, bukan untuk menyerah melainkan ingin bertanya.
“Prof. Nawir, tolong jelaskan kepada kami tentang cinta” tuturnya.
“Terima kasih Budi, akan saya jelaskan” tutur Prof. Nawir setelah meneguk kopi buatannya.
“Cinta adalah Cerita Indah Negara Tanpa Arogansi. Lebih tepatnya arogansi kekuasaan. Dimana kepentingan yang dipenuhi bukanlah perorangan melainkan saling memenuhi. Mungkin kalian bergumam, kok seperti … Lupakan! saya tidak ada bahas yang lain, ehm.” tutur Prof. Nawir mengakhiri takut kebablasan.
Selain takut sama Tuhan, ia juga takut atau lebih tepatnya phobia dengan suara ting-tingnya tukang bakso yang suka lewat depan rumah. Orang tuanya dahulu menjelaskan bahwa tukang bakso sebenarnya adalah inteligen negara, begitulah kelamnya hidup di masa muda Prof. Nawir.
“Jadi begini, salinglah kalian mencintai dengan menjunjung prinsip ‘Cintailah seseorang sebagaimana ia ingin dicintai, bukan mencintainya sebagaimana diri kamu ingin dicintai’ mengerti?” tutur Prof. Nawir kembali menjelaskan.
“Ehm, maaf Prof. Nawir Budi belum paham.” tutur Budi kembali menanyakan.
“Baik Budi akan saya kasih contoh” Prof. Nawir bangkit dari tempat duduknya “Kamu Budi, makanan apa yang paling kamu suka?” tanya Prof. Nawir kepada Budi.
“Saya suka semua makanan asal gratis Prof. Nawir, maklum anak kos” tutur Budi.
Teman-teman di kelas tertawa mendengar jawaban Budi.
“Waduh susah juga ya” tutur Prof. Nawir santai. “Oke deh begini Budi, berarti kamu tidak suka makanan yang bayar ya. Jika kamu di ajak sama teman kamu yang kaya raya, tapi ia bilang kalau kamu harus bayar sendiri, kamu bakalan marah, tidak?” tanya Prof. Nawir lagi.
“Marahlah Prof, udah jelas saya gak punya uang malah diajak ke restoran mewah” jawab Budi.
“Nah, tapi kalau teman kamu yang kaya itu memberikan makanan gratis karena tau kalau itu kesukaanmu, bagaimana?” tanya Prof. Nawir lagi.
“Tentu saya senang Prof. Nawir” tutur Budi tersenyum.
“Begitulah cinta Budi. Kita semua tau bahwa sholat subuh itu dua rakaat, bukan? Tapi kamu yang mengaku cinta kepada Allah malahan sholat empat rakaat atau satu rakaat, apakah Allah menyukai itu, Budi?” tanya Prof. Nawir.
“Tentu tidak boleh seperti itu Prof” jawab Budi.
“Makanya Budi, cintailah seseorang sebagaimana ia ingin dicintai. Jangan berlebihan atau kekurangan, mengerti sekarang Budi?” tutur Prof. Nawir menutup penjelasannya.
“Terimakasih Prof. Nawir saya sudah mengerti soal apa itu cinta” tutur Budi dengan senyum yang melebar wajahnya.
“Sekian untuk pertemuan kita kali ini, nasehat saya untuk kalian, Ilmu kalian jangan di-BUDI-in” tutur Prof. Nawir.
Semua malta langsung mengarah kearah Budi.
“Maksud saya, Ilmu itu, B: Bukan, U: Untuk, D: Dibangga, I:-In” tutur Prof. Nawir sambil meninggalkan ruangan.
Epilog: Di atas langit mungkin ada langit, bagi mereka yang ingin berpikir.
#Day28 #Mengarang #30HariBercerita #CeritaRunnerLPC