Catatan 03: Kami Khawatir, Kawan

Avatar photo
Reading Time: 3 minutes

Catatan 03: Kami Khawatir, Kawan.


Telah lama hatiku meminta mata dan tangan untuk lebih berani menatap ke jalanan, entah saat berjalan kaki, mengendarai kereta, sepeda atau apapun yang memberikan peluang untukku menatap jalanan.

Mungkin ketajaman mata dalam memperhatikan detail benda-benda di jalanan dan keberanian tangan untuk mengulurkan dan mengutip nya, terasah selama aku hidup 3 tahun di pesantren. Setidaknya 2,5 tahun mengabdikan diri membersihkan masjid, dari menyapu dan mengepel lantai (karena tidak menggunakan sajadah), membersihkan kamar mandi, menjaga kebersihan tempat wudhu, dan lain sebagainya bersama 10 santri lainnya.

Hingga kini kebiasaan mengutip itu hadir menjadi bagian hidupku. Namun uniknya, sulit sekali mengaplikasikan kebiasaan ini dirumah sendiri. Aku berasumsi karena kebiasaan membersihkan rumah adalah hal yang selalu dilakukan ibuku, dan tidak mewajibkan diriku melaksanakan kebersihan rumah. Aku sendiri heran dengan sikapku yang sulit menerapkan semangat kebersihan yang sama ketika dahulu  hidup di pondok. Tapii, insya Allah aku pun telah lebih bisa membiasakan diri, walau masih sering malas nya sih, hehe.

Oke, itu tadi adalah sebuah prolog untuk tulisan kali ini. Inti dari tulisan ini ialah khawatiranku terhadap muslim yang abai terhadap kebersihan di tempat umum. Khususnya ditempat aku belajar sekarang, UIN Sumatera Utara di Jalan Williem Iskandar (aku khususkan karena aku tidak tahu kondisi di lokasi kampus UIN-SU yang lain).

1. Kampus Tidak Bebas Rokok

Aku awali catatanku pada kehidupan akademis di kampus ini dengan Mahasiswa yang sepanjang mata memandang, mudah sekali menjumpai penghisap rokok. Pun tidak hanya Mahasiswanya, kulihat beberapa laki-laki berusia tua yang dalam asumsiku ia seorang pengajar di kampus ini, pun sama kebiasaannya menghisap rokok.

Namun aku tidak menyoroti hukum rokok secara agama maupun kesehatan (sudah banyak yang mengkaji dan silahkan ambil kesimpulan masing-masing) tapi ini persoalan secara nilai etika (lebih jauh lagi ialah  aku yang mempersoalkan nilai kebijaksanaannya). Pun aku percaya semua sudah mengetahui bahwa perokok pasif (yang menghirup asap si perokok) mendapat bahaya yang lebih dari perokok aktifnya, namun bukan hanya itu yang ingin aku tegaskan, adalah mereka para perokok tidak membuang puntung rokoknya ke tempat sampah. Ini persoalanku yang paling utama.

Bisa kita perhatikan negara Singapura, yang mendenda masyarakatnya yang membuang putung rokok/merokok sembarang tempat. Lainya juga seperti negara Jepang, Korea. Yang aku herankan adalah kenapa ini tidak bisa diterapkan di negara yang (katanya) menjunjung tinggi nilai Pancasila?

2. Kampus tidak bebas sampah

Adalah sampah puntung rokok, plastik bekas jajan, dan bungkus permen. Aku harap pembaca tidak bertutur dengan kalimat “Lah kan sudah ada petugas yang menangani sampah?” atau “Kalau gak aku buang sampah ini, akan banyak yang kehilangan pekerjaan di UIN ini!” ini lebih unik lagi, hehe.

Komentarku untuk mereka ialah “Tidakkah semua kitab Fikih membuka pembahasannya dengan Bab Thaharah?”. Mungkin tidak secara gamblang disampaikan larangan membuang sampah sembarangan, namun tidakkah pengajaran mengenai kebersihan telah mewakilinya?

Mengenai petugas sampah, tentu aku bersyukur dengan kelapangan hati mereka dalam melaksanakan pekerjaan itu. Aku teringat sebuah kisah (lupa sumbernya) tentang seorang petugas penyapu jalanan, ia ditanyai kenapa mau melakukan pekerjaan ini, jawabannya cukup memberikan pemahaman yang luas, “Tentu saya mengerjakan ini dalam rangka memenuhi kebutuhan, namun lebih dari itu, niatnya saya tambahin dengan semangat menjaga kebersihan dalam rangka taat kepada Allah. Jadi gaji dapat, pahalanya pun melimpah.” begitulah kira-kira penuturannya.

3. Menyingkirkan duri dari jalanan saja berpahala, bagaimana dengan sampah?

Silahkan baca artikel yang membahas keutamaan menyingkirkan duri di website nu online berjudul “Jangan Remehkan Kebaikan walau Hanya Singkirkan Duri di Jalan”. 

Berdasarkan dalil dan keutamaan menyingkirkan duri tersebut, timbul sebuah cocoklogi. Adalah bila duri saja begitu besar kebaikan yang didapat, bagaimana dengan sampah-sampah? Bahkan sepengalamanku, persentase menemukan duri (atau sejenisnya seperti paku, jarum, dan benda tajam) sangatlah kecil. Bila di kampus, jarum pentul adalah yang sering aku jumpai (nah coba untuk para mahasiswa untuk lebih menjaga jarum nya yaa).

Demikianlah sebuah catatan aku berikan untuk kehidupan kampus UIN-SU. Semoga bisa membuka dialog yang produktif untuk kemajuan kampus. Menjadi tempat belajar yang sebenar-benarnya. Besar harapanku untuk kepemimpinan rektor yang baru, untuk memfokuskan peningkatan seluruh civitas akademis UIN-SU melalui jalur etikabilitas.

Solusi yang ditawarkan untuk pihak kampus, antara lain:

  1. Menyediakan lokasi khusus untuk perokok, sebagaimana yang dicontohkan negara jepang dan singapura. Serta memberikan denda untuk mereka yang membuang sampah apapun itu tidak pada tempatnya.
  2. Mengedukasi mahasiswa/i dengan kepemimpinan berbasis etikabilitas, intelektualitas, elektabilitas. Sebagaimana Rasulullah dahulu contohkan
  3. Membudayakan literasi lewat penyediaan perpustakaan di sudut-sudut ruang terbuka. Khususnya peningkatan kualitas baca dan tulis. Serta penyediaan ruang jurnal yang terbuka untuk mahasiswa/i.

Sekali lagi, ini bukan hanya sebuah kritik, melainkan sebuah pernyataan untuk mengajak mahasiswa dan seluruh civitas akademis Kampus UIN-SU untuk membuka dialog mengenai hal ini.

Wallahu A’lam.


Penulis: Nawirul Haqqi

01 Zulhijjah 1444 H