Tiada Yang Mampu Menerjemahkan Kesuksesan
Penulis: Nawirul Haqqi
Aku tidak menyukai kegiatan perlombaan, lebih tepatnya perihal pemeringkatan, yang berhubungan dengan apapun.
Dahulu aku ranking satu di kelas, namun setelahnya aku disepelekan oleh seisi kelas, mereka ragu dengan hasil yang aku peroleh. Akhirnya mentalku jatuh, membenarkan ketidakpantasan label nomor satu ku di kelas, aku tidak lagi suka bertanya, memilih diam, dan di semester berikutnya aku berada di urutan kedua belas.
Jelas ini salahku yang terlalu memikirkan perkataan orang lain, entah karena aku yang hidup sebagai anak tunggal, membuatku menginginkan perhatian dari orang lain, lebih-lebih seperti pengakuan. Syukurnya, sepanjang masa itu, aku dapat kembali menyesuaikan diri, bertanya tak asal menanya, mengusahakan yang terbaik, apapun hasilnya akan aku terima, setidaknya aku melakukannya dengan maksimal.
Hingga kini, kesuksesan yang aku percayai adalah kematian yang berakhir dalam keadaan Islam. Selain dari itu, hanyalah cabang-cabang atau mungkin hanya ranting-ranting, bukan buah yang harus dipanen. Oleh karena ketidaktahuanku atas kapan waktunya buah (kematian) itu hadir, maka yang bisa aku lakukan adalah menjaga kehidupan pohon itu.
Seringkali jika aku menganggap beberapa hal yang aku inginkan terwujud dan memasukkannya ke dalam istilah kesuksesan, yang ada hanyalah kebahagiaan semu, cepat berpuas diri. Namun sekalinya tidak terwujud, akunya malah kecewa, marah, dan merasa tidak percaya diri (tentu dalam posisi diriku yang ‘terlalu serta berlebihan’ dalam menyikapinya).
Coba deh, kamu tanya orang lain, apa makna sebuah kesuksesan, pasti akan berbeda-beda, sulit sekali menemukan makna tunggal (pun dalam pilihan makna sukses yang aku paparkan diatas).
Karena itu, tiada kemampuan kita untuk mengukur nilai kesuksesan, pun tiada banyak manfaatnya. Baiknya, teruslah berjalan, terimalah bila banyak halangan, setidaknya kamu telah mempunyai tujuan. Maka jadilah kamu seorang menjemput, bukan yang mencari. Karena hanya mereka yang menjemput yang telah mengetahui akhir dari perjalanan.
“Barangkali, kita berangkat saja dulu
Meski tahu, jalan nanti kan berbatu
Tak kau tahu, berapa jauh
Tapi pasti kita, berangkat saja dulu
Meski tau, barangkali”
Sebuah lagu berjudul “Kita Berangkat Saja Dulu” Oleh Ananda Badudu dan Monita Tahalea.
Wallahu A’lam.