Cakap Asyik Edisi 14: Dari Kaku Ke Ayu.

Avatar photo
Reading Time: 4 minutes

Sumber foto IG @kedebukuobelia

BAHASAHATI.COM, Deli Serdang – Pembicara Ayu Febriana mengatakan ia berpesan bahwa kepada teman-teman penulis sekalian, sebenarnya menulis itu tidak sulit, buat yang belum pede, ya pede saja dalam Program Cakap Asyik yang digagas oleh Hasan Al Banna (moderator) diadakan di Kede Buku Obelia pada Sabtu, 18 Syawal 1445 H / 27 April 2024 M.

Berikut catatan saya pada kegiatan tersebut:

(Hasan) Apakah kak ayu sejak kecil suka membaca, bacaan apa, dan suka membaca sastra, dan bagaimana riwayat bacaan sastra? Kami sudah siap dengan jawaban kakak.

(Ayu) Saya tidak akan berbasa-basi. Sebenarnya dari kecil saya jarang membaca (buku), tapi saya suka membaca sains, sejak SMP, saya membaca Sepatu Dahlan dan nangis banget yang isinya related dengan kehidupan saya. Lalu saya dapat buku lagi judulnya the story of a murderer (Patrick). Semenjak itu, gak ada kepekiran untuk menulis, tapi karena itu (pula) kosa kata saya bertambah, saya suka menulis puisi sejak itu, (dan) saya terakhir menulis puisi karena diputusin pacar. Saat SMK, ada guru PPL (Program Pengalaman Lapangan) dari UINSU yang membawa saya ke pepustakaan. SMP saya rajin baca, namun saat SMK saya jarang baca karena sering membaca buku pemograman, dan saya sempat baca banyak buku resep karena mau masuk tata boga. Dan saya tidak menyentuh sastra.

Jadi di kuliah ada tugas CBR (Critical Book Review), saya ke pusda (Perpustakaan Daerah), saya ke lantai 2 di ruang fiksi, ketemu dan suka buku “Negeri Lima Menara” (A Fuadi) dan jatuh cinta lagi dengan membaca, tapi tidak dengan mantan pacar saya karena “jijik”. Dan saya ke Gramedia membeli buku “anak Rantau”.

Cerpen yang saya tulis itu bayangan gambaran kisah masa depan saya.

Puisi tidak lagi cukup untuk menyalurkan emosi saya, 8 juni 2023 ayah saya meninggal, dan 12 juni saya PKL (Praktik Kerja Lapangan). Kalau saya sekadar nulis tapi tidak dibaca orang sama saja emosi saya tidak dibaca orang. Saat mengirim, saya tidak munafik dan melihat honornya. Saat mau ke Jawa Pos, saya merasa tidak akan diterbitkan karena bukan dari jawa. Sebelum saya mengirim, saya riset juga untuk ke Kompas. Saya menemukan gaya penulisan yang sederhana, dari semua bacaan saya sebelumnya. Saya buat sendiri sistematisnya. Lalu saya buat dokumentasi emosi saya soal ayah saya. Dan mungkin agak lebay, saya menulis sambil nangis. 2 minggu saya diam-in. Lalu setelah emosi saya stabil, dari 7 lembar jadi 4 lembar (revisi). Saya bertaruh, kalau saya tidak nangis (setelah membaca cerpen ini), saya tidak akan kirim cerpen ini.

Saya mau kulik masa lalu, adakah saat membaca karya, apakah kakak mesrasa lingkungan kakak di Tanjung Balai memengaruhi secara umum, terlihat tidak ke-Tanjung Balai-an nya?

Cuma sekadar nulis aja, kita kan cuma menulis, gak sampai menentukan bahasa. Keluar begitu saja.

Kakak dekat dengan ayah?

Tidak juga, karena saya sejak smp saya di tanjung balai, dan orang tua saya ke pekan baru.

Kak Ayu ada tidak merasa dinilai orang sebagai introvert?

Iya ada, tapi peduli amat, saya hidup untuk diri saya snediri.

Ilham, teman saya dari Jakarta, mengatakan cerpen “Istirahat” itu punya “kesederhanaan”.
Setelah cerpen kemarin terbit, ada tidak keinginan kakak untuk terus menulis? Atau menunggu kejadian seperti kehilangan ayah, lagi?
Saya pernah seperti itu, tapi saya tidak lagi hanya di sana.

Saya klarifikasi, saya bukan menganggap media Kompas itu biasa, tapi karena terkait disiplin ilmu saya busana, saya hanya tahu Fox (media busana). Saya ada keinginan menulis lagi, masih menyusun. Tidak perlu sampai menunggu kejadian.

Berarti kabar gembira bagi saya, karena saya mengiyakan bahwa “untuk apa menulis kalau tidak dibaca orang”. Apapun medianya, sekalipun satu orang teman yang membaca.
Pernah tidak menunjukkan cerpen yang dimuat kemarin?

Tentu saya heboh. Pertama saya kasih tahu ke kakak kandung saya, setelah it uke sirkle saya. Waktu itu saya mau dapat tanggapan yang detail, responnya umum sekali.

Pernah tidak tergerak, idiom-idiom kehidupan kakak?
Saya pernah satu forum dengan A. Fuadi, Ben Sohib. Saya sempat ngobrol dengan A Fuadi dengan bahasa minang, dia dari maninjau saya bukit tinggi, kami berdiskusi dengan anak anak yang dari kecil suka ke surau.

Terpikir banget. Selain buku A Fuadi, saya baca Novel Lapuki. Bahasa Tanjung balai, “Gisting” artinya kekenyangan sampai banget buncit, juga “geneng” artinya lambat dalam segala hal.

Selain bahasa tadi, apa lagi karakter Tanjung Balai yang paling menonjol?

Masyarakatnya pemalas, kedua narkoba, tolol banget ini. Waktu itu saya (berada) di desa Tebing Tinggi, Kab. Serdang Bedagai yang (merupakan daerah) pesisir tidak semalas di sana (Tanjung Balai). (saya kira ini) Bukan karena suku. Sibuk main gablek, (Ibu-ibu yang) gibah cantik di teras (rumah).

Apa harapan kak Ayu dengan sastra kepada orang lain.

Gak sampai (terpikirkan) seperti itu sih.

Penutup:

Pertama, saya mau membahas produktifitas dan budaya Masyarakat. Mungkin saya melihat ayah saya yang sangat produktif, sehabis nelayan, istirahat secukupnya, lalu menanam dan mengurus keluarga. Soal pendidikan, disana hanya tamat SMA dan kebelet nikah, umur 14-16 sudah menikah. Psikologinya lemah. “Kepada teman-teman penulis sekalian, sebenarnya menulis itu tidak sulit, buat yang belum pede, ya pede saja.” tutup Ayu Febriana.