Prolog: Siapakah gerangan yang membuat kepilu-piluan?
Aku adalah pemegang kuasa pikiranku. Tiada yang bisa membuat tujuanku keliru dan yang mampu membinasakan visiku selain kehendak Tuhanku.
Kamu bukanlah perancang atau pun penghancur jati diri orang lain. Mungkin aku terlihat bersedih atas tindakanmu, tapi kesedihan itu bukan karenamu melainkan atas pilihanku sendiri.
Penilaian yang kamu berikan, sebenarnya itu sudah menjadi rencanaku. Tahukah kamu sebenarnya aku ‘tertawa’ dibelakangmu? Kamu termakan jebakanku. Ketertawaanmu itu sebenarnya aku tahu, palsu. Kamu iri, dengki, dan bahkan hasad. Tapi kamu terlalu malu dengan dirimu. Tidak ada prestasi, hanya menjadi sarjana yang buat story app Whatsapp dengan caption ‘Info lokerr, guyss’ ditambah stiker wajah berkacamata.
Yang padahal kamu butuh aku, memberimu saran untuk dunia pekerjaan. Kamu terlalu malu untuk melakukan itu.
Kenapa aku tahu? Bahasa tubuhmu menjelaskan semuanya, kawan. Sedari awal buku pertamaku terbit malahan telah kusadari. Tapi aku memilih diam. Bukan karena ingin menambang emas, tapi untuk kebahagiaan yang mendalam. Apalagi bagiku kamu sudah aku anggap keluarga. Tiada manusia sempurna. Sekalipun orang tua. Karena ketahuilah, hidup dengan manusia tanpa dosa adalah kefanaan. Tiada mungkin kamu dapati. Termasuk aku yang syukur alhamdulilah, yang kamu tertawai itu hanya segelintir aib-aibku. Tiada lain kalau bukan atas kebijaksanaan Allah dalam menutupi aib-aib.
Epilog: Adalah pilihan yang tepat untuk menyembunyikan sebagian dari keseluruhan, agar kamu tetap dapat merasakan kehidupan.