12 Januari 2024
Live Instagram @ngobrol.buku
Host: Eka Dalanta
Narasumber: Dian Purba
Eka: Bagaimana pengalaman membaca buku ini?
Dian: Dengan jumlah 96 halaman, membaca novela buku ini butuh minimal dua kali pembacaan untuk mendapatkan makna darinya. lebih dari itu malah lebih menarik. Hasil pembacaan pertama saya cukup membuat bingung. Tapi tidak saat dibaca ulang.
Pusat cerita nya berada di Becak. Yang hal ini mewakili masyarakat tingkat bawah.
Eka: Selain kisah cinta, apalagi yang kamu temukan? Misalnya, dari mimpi-mimpi Yusuf, yang selagi gratis ya bermimpi saja. Di tengah keterbatasannya.
Dian: Romo Mangun rasanya sangat terhubung dengan Jakarta. Sutiyoso setelah Soeharto lengser, pernah memfasilitasi dan menghilangkan. Anies tidak melarang becak, dan ia menggunakannya saat mendaftar ke Becak. Sepertinya Romo Mangun ingin mengatakan bahwa becak diperlakukan berbeda dari di Jogja. Becak, memiliki kehidupan, simbol kehidupan orang miskin yang tidak pernah takluk. Banyak interaksi lucu di dalam becak, dari nyanyian, repetan, cerita kehidupan. Lalu satu lagi catatan saya tentang becak, becak itu tidak menghasilkan polusi. di Becak, orang gampang sekali ramah. Saat ia membonceng dua pengamen, hal ini seperti mengatakan bahwa walau mereka miskin dan kalah mereka tetap bisa menikmati hidup. seperti kisah cinta Yusuf dan Riri. Sarkas ini, tidak menimbulkan sakit hati.
Yusuf mampu memberlakukan candaan dengan lebih ringan daripada orang di tingkat atas. Tidak ada sakit hati, karena hidup sudah sakit. Kehidupan terus berjalan. Romo menyebut ini seperti main-main tapi nyatanya hidup tidak main-main.
Yusuf ketika menghadapi candaan temannya di bengkel yang menyindir, misal janganlah pacaran sama mahasiswa, bahkan ketika saat ia berinteraksi dengan Riri di nyinyirin.
Kalau yang lainnya? seperti lagu-lagu yang disebut dalam novela?
Nyanyian ini bisa saja ada di dunia nyata. Di Jogja, hidup rasanya tidak tergesa-gesa di Medan. Romo yang bukan dari kalangan bawah, tulisanya sangat baik dalam keberpihakannya dalam orang miskin yang bukan sesuatu harus disesali. Tapi ada cara-cara tertentu untuk mereka agar tidak takluk. Ada humor sosial yang tidak ada resiko yang tinggi. Disini (novela) tidak ada plesetan yang bahaya. Dialog yang seperti nyanyian cukup banyak, bisa jadi itu beneran nyanyian. Nyanyian sebagai sarana untuk saling terhubung dalam hal sosial. juga sebagai pelampiasan katarsis.
Daya humor itu bukan saja upaya bertahan hidup atau melampiaskan emosi, tapi daya tahan sebuah bangsa. Dari humor ada kritik yang disampaikan dan menggelitik.
Persoalan Yusuf yang suka bermimpi. Dari awal cerita dia digambarkan suka melamun dengan membangun cerita dengan banyak tokoh dan peran. dengan nama-nama yang unik. Bagaimana pandangan kamu?
Ada banyak hal yang hanya bisa dicapai dalam dunia mimpi. Kadang kita heran, pemahaman kita tentang ini tidak terlalu dalam. seperti orang yang susah makan tapi beli barang yang mahal. Ini impian-impian yang tidak bisa diwujudkan di dunia nyata. Gori artinya simbol dari orang yang tidak kaya. Metropolitan disebut sebagai yang tidak Riri. Ketika ayahnya memanggilnya untuk minta maaf karena ia tidak dapat disekolahkan. Yusuf bila dilihat dari sudut mimpinya adalah sosok yang malas, tapi bila dilihat dari kemampuannya mengelas itu adalah cukup baik. Kesempatan yang tidak dapat hanya bisa didapat lewat impian (dunia mimpi), bahkan dia menyebut dirinya sebagai profesor musik, suara las dianggap sebagai musik harmoni, irama.
Kalau kita tarik ke kehidupan nyata, apa yang dilakukan Yusuf, apakah dapat membuat kita dapat menikmati hidup? bagaimana menurut kam?
Bisa jadi. Apakah di dunia nyata bisa, coba kita masuk saat masa orde baru 80-an, harga minyak yang sudah murah dan uang sudah berarti, namun itu hanya di kalangan atas, di bawah tidak terlalu terasa. yang datang ke bawah hanyalah tetesan bukan limpahan kesejahteraan. Yusuf, yang memiliki akses terbatas, Becak, pendidikan rendah, tidak punya orang dalam, sungguh tidak memungkinkan. Mereka yang sadar, tapi mereka bermain-main walau hidup tidak main-main. Mereka yang punya banyak waktu luang, yang bisa bercanda dan bernyanyi, orang kaya mungkin tidak mendapatkannya. di 80-an mereka yang sebagai orang kaya baru, telah takluk dan tenggelam dalam kesibukan.
Menarik, bahwa Kam ada menyinggung tentang kesempatan. dalam Essay Eka Kurniawan, bukan kesempatan tapi kemalasan. Lagi-lagi bisa karena akses dan hal lain.
Apalagi yang menarik dari novela ini? dengan buku setipis ini?
Selain itu, orang-orang yang dimiskinkan terus bercanda terus, tidak seperti politikus yang garing. Candaan orang-orang kecil itu tulis. Romo mampu menggambarkan itu. Keindahan itu bukan sebagai penghakiman, seperti di halaman awal-awal. Cara pandangnya yang berbeda lagi unik. ada kehidupan di kemiskinan itu. Mereka tidak takluk. Barangkali ini religiusitas, namun tidak menyangkut terhadap agama tertentu. Lebih dalam lagi adalah bagaimana keberpihakannya.
Alda (penonton) bertanya: “Dan konon seorang arif pernah berkata, bahwa daya humor suatu bangsa adalah daya ketahanan rakyat yang menjatuhkan singgasana raja-raja yang sewenang-wenang” (hal. 67) Bagaimana pendapat Baang Dian?
Apakah humor bisa meruntuhkan Soeharto, tidak. Tapi daya humor itu punya peran yang bisa dilekatkan. Dulu ada humor yang clasic, bila menyebut soeharto anjing, ada dibekaskan dua hal, menghina kepala negara atau membuka rahasia negara. Humor itu seperti tetesan air saat beribu kali menetes batu, pecah juga dia. Tidak seperti reformasi. Humor yang dilakoni dalam Balada Becak ini tidak bisa dilepas dari Orde Baru. Satu lagi, bentuk humor karikatur itu cukup kuat di hari-hari ini. Jadi beragam, orang-orang intelektual punya karikatur, tapi Yusuf dan Riri punya humor sebagai sarana penyampaiannya kepada penguasa.
Persoalan gaya tata bahasa yang digunakan dalam novela ini. ada bunyi-bunyi. Penulisan sindiran-sindiran yang diplesetkan. Bahasa tutur dan bahasa lisan dipindahkan ke bahasa tulisan. Bagaimana pendapat Kam?
Ada sebuah saran bahwa membaca buku ini dengan disuarakan. tidak dengan senyap. Ini seperti nyanyian yang ditulis, akhirnya harus dibaca dengan bersuara.
Dengan gaya bahasa sederhana dan pendek, membuat kita bisa menikmatinya dengan santai. Tidak dengan essay yang ia tulis.
Tapi di tahun 85 sepertinya ia telah bertaubat akan tulisan yang panjang menjadi pendek. Jadi novela ini bisa dibaca dengan suara, dan latihan membaca.
Meskipun ceritanya membicarakan orang pinggiran, namun cerita dalam novela ini happy ending, bagaimana pandangan Kam?
Barangkali di dunia nyata tidak akan semulus itu. Riri dan Yusuf yang tidak memiliki banyak pilihan. Saya sendiri tidak ada menyiapkan diri akan bagaimana endingnya, saya ikuti saja.
Terakhir, Romo tidak terlalu dikenal sebagai sastrawan dan humanis. padahal ia sangat pantas untuk dijadikan idola seperti halnya kepada para sastrawan terkenal hari-hari ini. Romo merupakan sosok yang lengkap.
Buku ini bisa dibaca secara legal di Ipusnas.
Terima kasih telah membaca catatan ini sampai akhir.
Namun sungguh, catatan di atas tidaklah lengkap. Kemampuan saya dalam menyalin obrolan secara langsung sungguh tidak bisa dilakukan dalam huruf-per huruf sesuai seperti yang keluar dari mereka. Maka, kamu sangat saya anjurkan untuk menyaksikan langsung 🙂 di IG @ngobrol.buku
.
Wallahu A’lam
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
1 Response
[…] Baca Juga: Catatan Ngobrol Buku: Balada Becak (YB Mangunwijaya) […]